Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membenahi (Lagi) Pendidikan Guru

Oleh: Dedi Purwana 

Mutu pendidikan bangsa ini masih rendah, meski alokasi anggaran pendidikan ditetapkan 20% dari APBN. Peningkatan anggaran pendidikan ternyata tidak berbanding lulus dengan kualitas pendidikan. Bagaimana mungkin Indonesia hebat bisa tercapai manakala kualitas pendidikan masih terperosok? Lalu apa yang salah dengan pendidikan di Negara ini? Pandangan masyarakat seringkali tidak objektif. Guru dianggap penyebab rendahnya kualitas pendidikan. Jika kita mau realistis, kualitas pendidikan yang rendah tidak sepenuhnya kesalahan guru.

Sejak zaman orde baru, karut marutnya kondisi guru tak pernah terselesaikan. Cerita-cerita miris tentang sosok guru selalu muncul. Mulai dari rendahnya penghargaan finasial, lemahnya kompetensi, hingga ketimpangan distribusi guru di wilayah NKRI. Bahkan lebih miris, guru hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik jelang pemilu atau pilkada. Namun demikian, pahlawan tanpa tanda jasa ini tentu hanya sebagian kecil penentu mutu pendidikan. 

Setali tiga uang dengan nasib guru. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sering dituding penyebab rendahnya mutu guru. Logika yang wajar karena memang lembaga inilah penghasil tenaga pendidik tersebut. Anekdot yang sering muncul tentang rendahnya mutu pendidikan di bumi pertiwi ini adalah akibat gap antar generasi. Siswa hidup dengan nuansa abad 21, guru hidup dengan suasana abad 20, dan LPTK dirancang untuk abad 19. Sudah saatnya institusi ini membenahi diri menjawab tudingan miring masyarakat.

Problem Kelembagaan

Rendahnya mutu guru menjadi dilema tersendiri bagi LPTK. Setidaknya ada lima persoalan besar yang dihadapinya “pabrik guru” di tanah air ini.

Pertama, belum semua LPTK memenuhi standar. Dari sisi kualitas, tidak semua LPTK terutama yang diselenggarakan masyarakat memenuhi standar nasional pendidikan tinggi. Baru-baru ini kemristekdikti menonaktifkan 243 PTS, 11 diantaranya adalah LPTK swasta. Kurangnya dosen pada PTS tersebut, misalnya menyebabkan rasio dosen mahasiswa sangat tinggi. Selain itu menurut catatan Bappenas, tenaga pendidik di PTS masih didominasi dosen berpendidikan S1 (94,8%), dibandingkan PTN sebesar 25,3%. Ini tentu bertolak belakang dengan keharusan dosen bergelar minimal S2 seperti diamanatkan UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Kedua, disparitas kualitas akibat kurangnya  pengendalian jumlah LPTK. Harus diakui bahwa penyelenggara pendidikan keguruan belum sepenuhnya dapat menghasilkan guru yang kompeten. Secara kuatitas, jumlah LPTK sangat fantatis!. Lembaga pencetak guru di bawah naungan kemensritekdikti terdiri dari 12 Universitas negeri eks-IKIP, 28  FKIP di PTN, 1 FKIP UT, dan 380 PTS. Namun secara kualitas, dari 3657 program studi kependidikan, hanya 12% berakreditasi A, 44 % terakreditasi B, dan selebihnya C.

Ketiga, over supply lulusan Pendidikan Akademik (S-1) LPTK. Jumlah  LPTK baik negeri maupun swasta yang tak terkendali menyebabkan kelebihan pasokan guru. Ijin penyelenggaraan yang longgar menyebabkan menjamurnya LPTK swasta “gurem”. Padahal pertambahan jumlah guru jauh lebih cepat dibanding jumlah murid sejak berlakunya desentralisasi dan otonomi daerah. Agregrat nasional rasio guru dan murid sangat rendah. Rasio guru dan siswa jenjang SD 1:17, SMP 1:15, San MA 1:12.

Keempat, perhatian Pemerintah terhadap LPTK masih kurang. Hal ini tercermin dari pengalokasian BOPTN yang tidak berkeadilan. Distribusi BOPTN sangat diskrimitatif. Porsi dana bantuan yang didapat LPTK jauh lebih lendah dibandingkan PTN konvensional lainnya. Minimnya bantuan operasional tersebut, tentu berdampak pada rendahnya kualitas pembelajaran di LPTK.

Kelima, Pemerintah mengabaikan amanat konstitusi. Dalam UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersurat jelas bahwasanya Pendidikan Guru harus berikatan dinas. Selain itu, pendidikan guru juga harus berasrama. 10 tahun sudah sejak UU tersebut disahkan, hingga saat ini kedua amanat konstitusional tersebut belum dilaksanakan. Memang dibutuhkan biaya besar untuk pembangunan asrama guru. Menurut kalkulasi Asosiasi LPTK Indonesia, diperlukan anggaran sekira 2 Triliun rupiah. Investasi sebesar itu, dianggap wajar dalam jangka panjang terkait keinginan bangsa ini memiliki SDM unggul.

Revitalisasi LPTK

Sadar akan peran penting menghasilkan guru abad 21, LPTK mendesak untuk merevitalisasi diri. Revitalisasi tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Reorientasi program pendidikan guru sejatinya diarahkan menghasilkan guru pendidik, bukan guru pengajar. Guru pendidik selain memenuhi kualifikasi akademik dan profesional, juga memiliki karakter mengayomi peserta didik.

Dinegara-negara maju, calon guru biasanya berasal dari peringkat terbaik lulusan SMA. Oleh karenanya seleksi masuk ke LPTK harus dilaksanakan secara ketat dengan menetapkan passing grade tinggi. Tes kepribadian, minat dan bakat harus dimasukkan dalam seluruh jalur seleksi masuk LPTK, baik melalui SNMPTN, SBMPTN maupun mandiri. Tes tersebut diterapkan baik bagi jenjang akademik S1 maupun Pendidikan Profesi Guru (PPG). Perlu dipilih secara selektif LPTK yang berhak menyelenggarakan PPG sebagai mekanisme alamiah untuk melikuidasi LPTK-LPTK yang tidak berkualitas dan tanpa akuntabilitas.

LPTK dengan kekhasnya harus dikelola secara akuntabel. Penjaminan mutu semestinya dilaksanakan sebagai bagian dari akuntabiltas LPTK. SDM LPTK tanpa kenal lelah harus terus di upgrade baik kualifikasi pendidikan maupun kompetensi profesionalnya. Pada saat yang sama, kurikulum dan sistem pembelajaran dirancang untuk menghasilkan kompetensi unggul lulusannya. Lulusan LPTK yang notabene adalah guru, penentu kualitas generasi mendatang. Indonesia hebat tercapai manakala sumber daya manusianya berkualitas yang dihasilkan oleh guru-guru bermutu.

LPTK harus diarahkan layaknya pendidikan kedinasan. Ini dilakukan agar calon guru ditempa dengan pendidikan karakter yang dibutuhkan. Oleh karenanya, pendidikan guru harus berasrama untuk membekali kompetensi personal dan sosialnya. Selain itu, pemerintah wajib membiayai kelengkapan LPTK dengan sekolah laboratorium (labschool) sebagai wahana mengasah kompetensi pedagogik dan profesional.

Pada akhir, revitalisasi pendidikan guru merupakan keniscayaan. Sudah saatnya ke depan LPTK berani bermimpi menjadi world class teacher education. Para pengampu kepentingan seyogianya bahu membahu merealisasikan mimpi tersebut, demi turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga.

13 komentar untuk "Membenahi (Lagi) Pendidikan Guru"

  1. Artikel ini sangat bermanfaat dan menambah wawasan, trimakasih pak

    BalasHapus
  2. Sangat bermanfaat dan menambah wawasan, terima kasih prof

    BalasHapus
  3. Semoga pemerintah bisa lebih mengedepankan perhatiannya kepada LPTK... Sanagat menarik, Terima kasih prof,

    BalasHapus
  4. Artikel ini menambah wawasan dan bermanfaat

    BalasHapus
  5. Sangat menarik,bermanfaat, menambah pengetahuan dan wawasan.

    BalasHapus
  6. Artikel ini menurut saya sangat menarik dan juga bisa menambah pengetahuan dan wawasan yang lebih luas lagi. Terimakasih prof:)

    BalasHapus
  7. Artikelnya bagus, menarik dan dapat menjadi bahan penambah pengetahuan

    BalasHapus
  8. sangat menarik dan bermanfaat serta mengedukasi pak

    BalasHapus