Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Etika Bisnis Dalam Pusaran Politik

Oleh: Dedi Purwana

Kegaduhan di ruang publik mengenai etika para pemimpin bangsa semakin heboh. Kasus Petral dan Freeport layaknya sebuah sinetron yang asyik ditonton, namun membodohi masyarakat.  Plesetan kalimat papah minta saham misalnya, muncul sebagai reaksi sinis terhadap ulah politikus senayan yang tak beretika. Etika sebagai pejabat publik tergerus oleh syahwat berburu rente. Mencari pemimpin beretika di negeri ini memang tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Ibarat mencari jarum jatuh ditumpukkan jerami.

Etika Bisnis Dalam Pusaran Politik
Foto oleh Gabby K dari Pexels

Etika sepertinya sudah menjadi barang langka bagi bangsa ini. Publik bertanya-tanya bagaimana mungkin, misalnya seorang politikus kawakan di senayan menggadaikan harga diri dan jabatannya untuk memperoleh saham PT Freeport. Tentu ini dilakukan sebagai imbalan dukungan dalam negosiasi perpanjang kontrak karya perusahaan tersebut.  Pola transaksional semacam ini tentu tidak hanya terjadi dalam kasus freeport semata, bisa saja terjadi di perusahaan nasional dan asing lainnya. Jangan berharap etika bisnis dapat ditegakkan manakala kondisi semacam ini terus berlangsung.

Pemimpin Beretika

Kita tahu bahwa biaya politik di negara ini sangat tinggi. Ini terlihat dari derasnya perputaran rupiah pada saat pemilu atau pilkada. Naluri alamiah pebisnis akan muncul ketika melihat peluang jabatan politik bisa melanggengkan bisnis milik mereka. Mereka rela berinvestasi karena menilai pengembalian investasi akan segera didapatkan ketika telah menduduki posisi strategis di lembaga legislatif maupun eksekutif. Jebakan investasi semu inilah yang seringkali menjerusmuskan para politisi yang notabene pengusaha memperdaya mereka.

Pola kepemimpinan transaksional lebih sering digunakan politikus dan pebinis untuk memenuhi syahwat pribadi. Tipe pemimpin seperti ini seringkali memanfaatkan kekuasaan bahkan bila perlu finansial untuk mempengaruhi orang lain agar memenuhi kehendaknya (Bass; 2006). Mirisnya, perilaku transaksional lebih intense dilakukan oleh pebisnis yang berperan ganda sebagai politikus. Dengan kalkulasi bisnis, mereka harus secepat mungkin mengembalikan investasi yg telah dikeluarkan. Perilaku koruptif tidak terhindarkan. Banyak politisi dan pengusaha pada akhirnya terjerat persoalan hukum.

Pelanggaran etika bisnis seringkali terjadi karena adanya hegemoni kekuasaan. Artinya, negara dikendalikan oleh politisi, birokrat dan pengusaha. Koalisi yang terbangun menyebabkan batasan etika bisnis menjadi sumir. Politisi dengan kekuasaan yang melekat mampu menekan pengusaha untuk memenuhi hasrat politiknya. Ini terjadi pada kasus freeport yang saat ini menjadi trending topic. Pengusaha membentuk kartel untuk memainkan harga komoditas. Kasus Petral misalnya, menunjukkan begitu berperannya pelaku bisnis dalam mengatur harga minyak impor. Politisi, birokrat bersama pengusaha menciptakan proyek-proyek yang sebenarnya tidak perlukan oleh rakyat dalam kasus pengadaan UPS di DKI Jakarta. Situasi karut marut ini memunculkan pertanyaan, masihkah ada asa lahirnya pemimpin yang peduli etika bisnis di tanah air ini?

Aksi Bersama

Sudah saatnya bangsa ini mulai serius menata perekonomian untuk rakyat agar lebih baik lagi di masa depan. Penataan tersebut diawali dari penegakkan etika bisnis berikut:

Pertama, edukasi etika bisnis harus digalakkan. Pendidikan etika bisnis seyogianya mulai ditanamkan sejak usia belia. Keluarga menjadi basis bagi anak mengenal apa, bagaimana dan mengapa etika bisnis diperlukan. Tanamkan kesadaran kepada anak bagaimana mereka berperilaku sebagai konsumen bijak, produsen bertanggungjawab, investor yang cerdas, dan penabung yang cermat. Kesadaran ini menjadi bekal penting ketika mereka hidup di masyarakat.

Kedua, kesadaran tentang arti penting penegakkan etika harus ditingkatkan. Pranata pendidikan baik sekolah maupun kampus sudah seharusnya menjadi pelopor penegakkan etika. Budaya menyontek misalnya, jika dibiarkan tanpa sadar telah melahirkan generasi muda yang selalu berfikir instan meski harus melanggar etika. Etika akademik ditengarai seringkali dilanggar oleh komunitas akademisi. Seolah sesuatu yang lumrah, plagiarisme terjadi di kampus manapun. Sejatinya dosen dan guru menjadi anutan dalam menjunjung tinggi budaya akademik. Manakala kecurangan akademis ini dibiarkan, maka kita hanya menghasilkan lulusan Ber-IPK tinggi namun bermoral rendah.

Ketiga, politisi harus sadar peran. Para politisi dipilih oleh rakyat agar mereka memperjuangkan hak-hak rakyat, bukan memperjuangkan hak pribadi. Integritas para politisi diuji manakala mereka melihat kemiskinan masih merajalela di bumi pertiwi ini. Sejatinya para politisi berupaya keras untuk menghapus ketidakadilan ekonomi sebagai penyebab kemiskinan. Produk-produk legislasi yang dibuat harus pro rakyat, sekaligus membatasi gerak entitas bisnis melakukan pelanggaran.

Keempat, entitas bisnis melakukan penguatan kapasitas dalam rangka tegaknya etika bisnis. Kode etik yang mengatur perilaku pimpinan dan karyawan bukan sekedar dokumen tertulis. Penegakan kode etik itulah yang penting dilaksanakan. Budaya menolak suap dan gratifikasi dalam mendapatkan proyek-proyek pemerintah harus diinternalisasi. Prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik harus dilaksanakan bukan saja pada perusahaan publik, akan tetapi juga pada UMKM.

Kelima, birokrat bekerja secara profesional. Etika pejabat pemerintah harus ditegakkan ketika melaksanakan layanan publik. Rakyat menggaji para birokrat melalui pajak yang dibayarkan. Oleh karenanya, mereka harus bekerja untuk kepentingan publik. Contoh sederhana misalnya, tidak menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Katakan tidak pada suap dan gratifikasi sebagai imbalan menyetujui perijinan yang diajukan para pengusaha.

Keenam, ketegasan penegak hukum dalam pelanggaran etika bisnis. Manakala politisi, birokrat dan pengusaha terindikasi melakukan praktik bisnis curang, penegak hukum harus berani bertindak. Pemberian hukuman berat seyogianya ditimpakan bagi para pelanggar tanpa takut terhadap intervensi para penguasa dan pengusaha. Sadar bahwa mereka bekerja untuk rakyat, sudah sewajarnya aparat hukum mengedepankan hukum diatas segalanya.

Pada akhirnya, mengembalikan etika bisnis sesuai khitohnya adalah tanggung jawab kita semua. Apapun peran kita, kepedulian terhadap nilai-nilai integritas, kejujuran, transparansi dan akuntabilitas merupakan modal membangun perekonomian bangsa ini. Harapan untuk menjadikan negara ini surga bagi investor semoga terwujud.

*Artikel terbit di Koran Sindo edisi 02-12-2015

 

Posting Komentar untuk "Etika Bisnis Dalam Pusaran Politik"