Kampus Lumbung Wirausaha Sosial
Oleh: Dedi Purwana
Tingginya angka kemiskinan merupakan persoalan bangsa ini. Sayangnya, isu kemiskinan hanya dimanfaatkan sebagai komoditas politik yang selalu digunakan menjelang kampanye pemilu atau pilkada. Pengentasan kemiskinan hanya jargon dan berakhir di ruang-ruang diskusi ilmiah atau seminar, tanpa ada solusi atau obat ampuh atasi problem ini. Diskusi publik hanya berkutat pada persoalan angka statistik. Masing-masing pihak mengklaim sumber referensi yang paling benar dari aspek metodologi ketika merilis jumlah orang miskin di tanah air. Kita selalu terjebak dan disibukkan dengan metode dan instrumen ukur manakah yang paling sahih. Kesemuanya tidak menyentuh akar permasalahan mengentaskan kemiskinan.
![]() |
https://www.pexels.com/id-id/foto/akademi-belajar-bersama-diploma-267885/ |
Pembentukan Karakter
Dalam khasanah kewirausahaan terdapat dua pandangan
mengenai wirausaha sosial. Pertama, wirausaha sosial dianggap sebagai seorang wirausaha yang mau berbagi sebagian keuntungan kepada
masyarakat tidak mampu. Kelemahannya, orang akan
berbagi ke sesama ketika mereka telah sukses menjadi entrepreneur. Kedua, wirausaha
sosial adalah individu yang
tingkat kepedulian sosialnya tinggi meskipun dia secara ekonomi tidak memiliki
apa-apa. Jadi tidak harus jadi pengusaha
dulu, baru kemudian membantu sesama.
Proses belajar mengajar di PT sejatinya mampu mengasah kompetensi sosial mahasiswa.
Untuk kepentingan ini, pendekatan perkuliahan project based learning, misalnya dapat diterapkan. Tema yang diangkat berupa persoalan hangat yang dihadapi masyarakat. Jika
kita mau jujur, kelemahan Kurikulum
Berbasis Komptensi yang digunakan
saat ini terjebak pada aspek penguatan kognitif, bukan afektif. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) sebagai acuan KBK pun dirancang
hanya mengukur kompetensi lulusan agar siap kerja, tanpa memberikan bobot lebih pada aspek sosial.
Permendikbud Nomor 81 Tahun 2014 memuat keharusan kampus memberikan Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI) kepada lulusan. Berbagai aktifitas non kurikuler mahasiswa dapat dijadikan poin sebagai dasar penerbitannya. Dalam hal ini, pihak kampus dapat mempolakan kegiatan mahasiswa berorientasi aktifitas kemasyarakatan. Ijazah hanya mengukur kompetensi akademik, sedangkan SKPI merupakan rujukan bagi pengguna lulusan tentang kompetensi sosial yang dimiliki. Kita sepakat untuk menghasilkan lulusan yang pintar, namun lebih penting menghasilkan lulusan yangg berjiwa sosial tinggi.
Kuliah Kerja Nyata (KKN) bertujuan mengasah kepedulian mahasiswa terhadap kondisi sosial masyarakat. KKN seyogianya bukan sekedar pemenuhan jumlah sks, akan tetapi memaknainya sebagai pengalaman aplikasi keilmuan dalam membantu problematika sosial kemasyarakatan di wilayah/ desa binaan. Konsep KKN tematik yang sudah diterapkan saat ini perlu terus diintesifkan. Mahasiswa ekonomi, misalnya turut membantu pemberdayaan usaha kecil dan koperasi sesuai potensi wilayah. Pada saat yang sama, mereka harus mampu menebarkan virus kewirausahaan di desa dengan tetap memperhatikan kondisi masyarakat. Bersama Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat/ Sanggar Kegiatan Belajar (PKBM/ SKB) di wilayah binaan, mahasiswa mengajak para petani atau nelayan untuk mampu meningkatkan nilai tambah ekonomi dari produk yang dihasilkan. Setidaknya melalui kegiatan ini, diharapkan mampu mendorong munculnya wirausaha-wirausaha desa sekaligus menurunkan tingkat urbanisasi.
Dalam kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (P2M), dosen dan mahasiswa melaksanakan kegiatan berdasarkan analisis kebutuhan. Bukan karena proposal P2M telah disetujui, meskipun kegiatannya tidak diperlukan oleh masyarakat. Oleh karenanya, pendekatan analisis kebutuhan wilayah binaan menjadi penting. Kita tentu tidak ingin memberikan satu obat untuk berbagai macam penyakit. Kegiatan P2M harus mampu menjawab persoalan-persoalan sosial. Demikian halnya dalam kegiatan penelitian. Penelitian dilaksanakan bukan untuk kepentingan angka kredit bagi dosen, tetapi merupakan solusi atasi permasalahan yang bermakna bagi masyarakat. Ironisnya penelitian dosen dan mahasiswa selama ini selalu berakhir di lemari arsip untuk kepentingan pertanggung jawaban keuangan.
Aksi Nyata
Upaya keras pihak kampus untuk menumbuh kembangkan kewirausahaan sosial membawa secercah harapan. Contoh nyata sociopreneur lahir dari kampus adalah program sarjana mengajar di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan (SM3T). Program ditujukan bagi lulusan LPTK yang telah dirintis oleh kemdikbud sejak tahun 2011. Mereka rela meninggalkan kenyaman hidup di kota untuk kemudian tinggal di daerah terpencil dengan segala keterbatasan. Sementara rekan-rekannya sibuk menawarkan ijazah kesana sini tanpa hasil. Mereka berjuang mengangkat kesenjangan akses pendidikan di daerah tertinggal, terdepan dan terluar di wilayah NKRI. Anak-anak usia sekolah didaerah tersebut masih jauh dari hak mendapatkan keadilan pendidikan. Program ini tentunya sekaligus mengatasi persoalan distribusi guru yang tidak merata di tanah air ini. Baca juga artikel terkait "Membenahi (Lagi) Pendidikan Guru"
Sudah saatnya pelaku bisnis turut membantu melahirkan sociopreneur kampus sebagai wujud tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat. Pelaku bisnis bersama warga kampus saling bahu membahu mengatasi persoalan sosial kemasyarakatan. Para pengusaha harus membuang jauh tujuan pemanfaatan dana CSR hanya untuk sekedar membangun citra perusahaan. Sementara itu, Pemerintah berkewajiban menjaga kesinambungan kemitraan tersebut melalui regulasi kebijakan yang merangsang para pelaku bisnis turut aktif terlibat gerakan kewirausahaan sosial di PT. Bila perlu program sarjana pedesaan yang pernah dilaksanakan dan sekarang tidak terdengar lagi, dihidupkan kembali oleh Pemerintah.
Tentu kita berharap atmosfir kampus diwarnai dengan aktifitas yang mengasah kepekaan sosial seluruh warganya. Bila ini terwujud, tentu tidak ada lagi mahasiswa yang setiap harinya disibukkan dengan tawuran antar kampus, bahkan lebih miris lagi antar fakultas. Semoga [ ]
sangat menarik dan bermanfaat serta mengedukasi pak
BalasHapus