Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menggeliatkan (Lagi) Ekonomi Kreatif

Oleh  Dedi Purwana 

Melarang ojek dan taksi online beroperasi oleh pemerintah, mematikan ekonomi kreatif. Meskipun akhirnya larangan tersebut dicabut. Sungguh ironis manakala bisnis berbasis kreatifitas dan pro rakyat, seperti Go-Jek, GrabBike, Ladyjek dibungkam. Ini membuktikan inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam menggairahkan semangat pelaku industri kreatif. Bisnis semacam ini seyogianya didukung karena mampu menyediakan lapangan kerja dan turut menopang perekonomian nasional.

Industri kreatif di tanah air relatif belum memperlihatkan kinerja mumpuni. Maraknya pelanggaran hak cipta, membuat sektor ini bergerak tertatih-tatih. Pembajakan hak cipta merupakan momok menakutkan bagi pelaku ekonomi kreatif. Menurut data IPRI tahun 2015 (http://internationalpropertyrightsindex.org), Indonesia berada pada posisi ke 70 dari 129 negara dengan index 4,9. Bandingkan dengan negara ASEAN lain, seperti Malaysia 6,6, Filipina 5,1, Thailand 4,9 dan Singapore 8,1. Index tersebut menunjukkan bahwa perlindungan hak kekayaan intelektual di negara ini masih rendah.

Saat ini sumbangan industri kreatif terhadap PDB sebesar 7,5%.. Basis industri ini adalah sumberdaya manusia dan keunikan produk akhir yang notabene berbasis lokal content. Industri ini semestinya mampu melesat lebih jauh mengingat potensi pasar domestik yang besar. Namun pertanyaannya adalah bagaimana membumikan ekonomi kreatif agar menjadi sektor unggulan dalam perekonomian nasional?

Tantangan

Sektor pendidikan belum mampu menyediakan ruang bagi tumbuhnya kreatifitas. Kurikulum sarat beban mata pelajaran. Guru dipaksa memenuhi target capaian pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Alih-alih persiapan Ujian Nasional (UN), Guru berkejaran dengan jam pelajaran agar semua topik yang di UNkan tersampaikan kepada siswa. Layaknya supir bis metromini kejar setoran. Akibatnya, materi pelajaran lebih mengasah aspek kognitif. Siswa dipasung dengan tugas harian tanpa sempat lagi bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Tugas pun dikerjakan sesuai pakem. Ketika melenceng dari pakem, maka jangan berharap mendapat nilai bagus. Padahal kreatifitas sejatinya seringkali melanggar pakem yang ada.

Lingkungan sosial budaya belum kondusif menularkan virus kreatifitas. Ketika ada anggota masyarakat memiliki idea kreatif yang mendobrak tatanan sosial, maka dianggap orang aneh. Bisa dibayangkan kreatifitas anak indonesia manakala mereka tidak mendapatkan ruang gerak melahirkan ide kreatif baik di sekolah maupun lingkungan sosial. Belum lagi, minimnya penghargaan bagi para pekerja seni membuat industri kreatif tidak tumbuh.

Pendidikan kreatifitas minim diajarkan dalam keluarga. Orang tua enggan menanamkan sikap kewirausahaan pada anak. Orang tua selalu berharap anaknya mendapat pekerjaan mapan kelak setelah lulus kuliah. Pola asuh protektif seringkali kontra produktif bagi anak. Anak takut untuk mengeluarkan ide kreatif selama orang tua selalu menyalahkan bahkan memarahi sikap nyeleneh. Meski sering anak diminta ikuti ekstra kurikuler menari atau gamelan, akan tetapi sebatas mengasah sikap dan rasa. Tidak mengajarkan lebih jauh nilai ekonomis dari seni budaya yg dipelajari. Ini akibat karena pemahaman orang tua terhadap ekonomi kreatif terbatas.

Pemerintah setengah hati membantu perkembangan ekonomi kreatif. Benar bahwa berbagai regulasi pro ekonomi kreatif dikeluarkan, namun pada tataran implementasi masih minim aksi. Lemahnya penegakkan hukum atas pembajakan, misalnya menyebabkan pelaku industri kreatif mati lemas. Padahal berbagai studi membuktikan adanya keterkaitan perlindungan hak cipta terhadap pertumbuhan ekonomi. Tentu tidak adil bila ide kreatif dihargai dengan pembiaran maraknya pelanggaran hak cipta. Belum pernah terdengar di negeri ini, pelaku pembajakan hak cipta dihukum seberat-beratnya.

Solusi 

Pertama, perlu revolusi mental - meminjam istilah Jokowi - dalam pendidikan. Kurikulum harus mampu membuka ruang bagi tumbuh kembang kreatifitas siswa. Orientasi metode mengajar seyogianya menyenangkan dan membuka peluang aktifitas eksplorasi pengetahuan. Saatnya, guru  mendapatkan pelatihan intensif berbagai metode belajar mengajar kreatif. Metode belajar mengajar yang dapat menyeimbangkan kemampuan otak kiri dan kanan anak. Selain itu, pendidikan kewirausahaan perlu dan harus diajarkan di sekolah sejak dini.

Kedua, pemerintah pusat dan daerah harus lebih pro ekonomi kreatif. Dengan kearifan lokalnya, desa memiliki potensi modal ekonomi kreatif. Dana desa semestinya diarahkan untuk membiayai program kewirausahaan desa. Ekonomi kreatif berbasis budaya lokal perlu ditingkatkan. Keragaman etnik dan budaya menjadi unggulan kompetitif yang patut dikelola agar memberi nilai tambah ekonomi. Kerajinan tangan dengan kekhasan masing-masing daerah, misalnya perlu diperkuat seiring dengan pesatnya pertumbuhan industri pariwisata tanah air. Manajemen pemasaran ditengarai merupakan kelemahan industri “handycraft” kita sehingga perlu diberi perhatian khusus.

Ketiga, penguatan kapasitas badan ekonomi kreatif. Memang usia badan ini masih seumur jagung, namun harapan masyarakat terhadap badan ini sangat tinggi. Kordinasi lintas kementerian atau lembaga perlu diharmonisasikan. Dalam rangka pemberantasan pembajakan hak cipta, badan ini perlu berkordinasi dengan lembaga penegak hukum. Pembajakan karya cipta dalam bentuk apapun jelas merugikan pendapatan negara. Mereka tidak pernah membayar pajak. Badan ini pun semestinya intens melakukan sosialisasi urgensi ekonomi kreatif ke berbagai pengampu kepentingan, khususnya di sekolah, kampus dan tentu media massa.

Keempat, kemudahan mengurus hak kekayaan intelektual. Mengurus hak paten di negeri ini, selain berbelit-belit juga mahal. Lamanya penyelesaian paten menyebabkan pelaku ekonomi kreatif enggan mengajukan perlidungan kekayaan intelektual. Perlu terobosan dari instansi terkait agar masyarakat mendapat kemudahan layanan dalam pengajuan hak kekayaan intelektual. Bahkan bila perlu tanpa biaya.

Kelima, penguatan daya saing UMKM. Sektor ini bersentuhan langsung dengan ekonomi kreatif. Para pembuat aplikasi piranti lunak, fashion, kerajinan tangan lebih banyak dari kalangan UMKM. Pemberian insentif pajak perlu diupayakan agar UMKM di industri kreatif berdaya saing tinggi. Sudah saatnya, BUMN/D berperan lebih aktif sebagai bapak angkat bagi UMKM industri kreatif.

Pada akhirnya kita berharap ekonomi kreatif mampu menjadi kekuatan baru bagi perekonomian nasional. Bukan sekedar slogan pencitraan, namun aksi nyata keberpihakan terhadap ekonomi kreatif patut dibuktikan. Ada asa ekonomi kreatif menggeliat di tahun 2016. Semoga.

*Artikel ini terbit di Koran Sindo Edisi Selasa, 12 Januari 2016.

Posting Komentar untuk "Menggeliatkan (Lagi) Ekonomi Kreatif"