Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Haruskah Pendidikan Bisnis Bertransformasi di Era 4.0?

Oleh: Dedi Purwana

Pesatnya perubahan di sektor bisnis, menuntut dunia kampus – pemasok lulusan mampu memenuhi kebutuhan users, entah perusahaan ataupun instansi publik. Lalu apa sih Pendidikan bisnis itu? Pendidikan bisnis secara epistimologi adalah kegiatan pendidikan yang diarahkan pada studi dan riset di bidang bisnis. Pada jenjang pendidikan tinggi, capaian pembelajaran dari pendidikan bisnis dimaksudkan untuk menyiapkan para mahasiswa agar mampu mempraktekkan apa yang dipelajari dalam pekerjaan yang dilakoninya di masa mendatang dalam bidang bisnis ataupun bidang yang berkaitan dengan bisnis. Profil lulusan dari pendidikan bisnis adalah bekerja di perusahaan ataupun instansi pemerintah dengan jenjang supervisor dan manajer atau menjadi entrepreneur.

dunia kampus pendidikan bisnis
Foto oleh ThisIsEngineering dari Pexels

The Association to Advance Collegiate Schools of Business (AACSB) menetapkan standar kriteria pendidikan bisnis sebagai berikut: Pada program sarjana (Bachelor), 25 persen atau lebih pengajaran terkait dengan mata kuliah bisnis tradisional, sedangkan pada Program Pascasarjana (Postgraduate), 50 persen atau lebih dari pengajaran berkaitan dengan mata kuliah bisnis tradisional, dianggap sebagai program gelar bisnis. Mata kuliah bisnis tradisional meliputi akuntansi, hukum bisnis, ilmu keputusan, ekonomi, kewirausahaan, keuangan (termasuk asuransi, real estat, dan perbankan), sumber daya manusia, bisnis internasional, manajemen, sistem informasi manajemen, ilmu manajemen, pemasaran, manajemen operasi, perilaku organisasi, pengembangan organisasi, manajemen strategis, manajemen rantai pasokan (termasuk transportasi dan logistik), dan manajemen teknologi (Beck-Dudley, 2019).

Di era disrupsi telah terjadi pergeseran tuntutan skill dari lulusan perguruan tinggi yang diperlukan oleh industri. Menurut catatan World Economic Forum (2016), terdapat lima skills yang pertumbuhan permintaannya akan paling tinggi berdasarkan beberapa sektor industri, di mana sebelumnya sektor tersebut tidak banyak membutuhkannya. Kelima skills tersebut adalah Cognitive Abilities (52%), System Skills (42%), Complex Problem Solving (40%), Content Skills (40%), dan Process Skills (39%). Akibat perubahan tuntutan skills sumberdaya manusia di berbagai industri saat ini, pendidikan bisnis pun mulai melakukan perubahan. Beberapa strategi dan kebijakan yang perlu diperhatikan penyelenggara pendidikan bisnis agar mampu beradaptasi di era revolusi industri 4.0 mencakup;

Pertama, penyelenggara pendidikan bisnis harus menetapkan strategi pengembangan program studi dengan jelas. Hingga saat ini, terdapat dua model penyelenggaraan pendidikan bisnis; konvensional (program studi ekonomi, manajemen dan akuntansi) dan pembaharuan (program studi bisnis digital). Pada model konvensional, program studi tradisional tetap dipertahankan dengan memberikan sentuhan utilisasi teknologi digital pada setiap mata kuliah yang ditawarkan. Strategi ini menuntut kesiapan tenaga pendidik dan infratruktur teknologi informasi yang memadai. Sedangkan pada model pembaharuan, beberapa Fakultas Ekonomi dan Bisnis menginisiasi pembukaan program studi bisnis digital, seperti UNJ, UNPAD, UPI, Unimed, dan Universitas Mercu Buana. Struktur kurikulum pada program studi ini merupakan gabungan ilmu akuntansi, ilmu manajemen, ilmu ekonomi, dan ilmu data (data sciences).

Kedua, merestrukturasi kurikulum pendidikan bisnis. Tuntutan pasar dewasa ini cenderung pada lulusan yang bersifat generalis, bukan spesialis. Sementara profil lulusan di dalam kurikulum harus dirumuskan dengan spesifik. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan bisnis sebagai acuan dan rujukan dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar jelas harus senantiasa diperbaharui, agar tidak ketinggalan dengan kebutuhan pasar. Pembaharuan kurikulum ditujukan untuk memberikan kemampuan manajemen yang handal dalam menjawab persoalan bisnis dan mempertahankan keunggulan kompetitif perusahaan di dalam lanskap bisnis yang berubah. Mahasiswa yang akan menjadi pemimpin bisnis tidak lagi menjalankan bisnis sebagaimana biasanya, melainkan membangun bisnis berbasis inovasi dan mendorong kolaborasi multidisipliner, serta menciptakan desain bisnis yang semakin relevan untuk mendukung kinerja prima perusahaan. 

Ketiga, terkait pengembangan dan pengayaan isi pembelajaran. Isi pembelajaran harus perlu terus diadaptasikan dengan perkembangan dan perubahan yang ada. Kebermaknaan pembelajaran harus tercapai. Bahan kajian mungkin saja tetap tidak berubah, namun fokus penekanan dalam perkuliahan harus berubah. Penggunaan big data  yang tengah terjadi di lapangan serta coding perlu diajarkan di kelas-kelas bisnis agar mampu mensinkronkan kemajuan teknologi dengan ilmu yang diperoleh oleh para mahasiswa (Hartomo, 2018). Selain itu, Pendidikan bisnis harus mulai menerapkan sistem pembelajaran hibrid atau blended learning online dan Massive Open Online Courses (MOOCs). Dengan demikian pengayaan materi pembelajaran tidak terbatas ruang dan waktu. Sebagai contoh, pengajaran dalam kelas dapat direkam dan dilihat secara online oleh peserta didik secara menyenangkan. Forum dan grup diskusi untuk mendalami pemahaman tentang konsep-konsep perkuliahan dapat dilakukan secara online dengan melibatkan banyak peserta didik tanpa hambatan dan berbiaya murah melalui aplikasi seperti Zoom, Skype, and Google Hangouts. 

 

Keempat, peningkatan kemitraan antar pendidikan bisnis dengan dunia industri. Kritik terhadap pendidikan tinggi di Indonesia selama ini adalah ketidaksiapan lulusan bekerja di industri. Implementasi konsep link and match masih jauh dari harapan. Fenomena yang terjadi saat ini adalah perubahan yang sangat cepat di dunia kerja. Para pengguna lulusan menuntut penyelenggara pendidikan bisnis mencermati perkembangan teknologi informasi dan pasar. Peningkatan kemitraan dengan dunia industri menjadi penting.  Kemitraan akademik antar penyelenggara pendidikan bisnis dengan dunia industri harus lebih diintensifkan. Penelitian-penelitian terapan dalam bisnis yang melibatkan mahasiswa untuk penyusunan skripsi, tesis dan disertasinya, dan diperkuat dengan praktik kerja langsung atau magang di dunia industri akan memperkuat kerjasama antara kampus dan dunia industri. Program magang (internship) yang selama ini hanya dilaksanakan 1 (satu) – 2 (dua) bulan seharus diperpanjang minimal 3 (tiga) bulan. Program magang bersertifikat di BUMN selama 6 bulan yang telah dirintis sejak 2017, misalnya perlu terus dikembangkan. 

 

Kelima, peningkatan kualitas kemampuan berpikir kritis dan kompleks bagi para mahasiswa pendidikan bisnis. Institusi pendidikan bisnis harus mampu membangun kemampuan berpikir critical analysis mahasiswa. Tujuannya agar mahasiswa sekolah bisnis mampu merespons derasnya informasi di era teknologi serta memiliki ketrampilan untuk memilah dan juga mengkritisi keakuratan informasi (data dan digital literacy). Jika selama ini mahasiswa diarahkan untuk merencanakan strategi bisnis berdasarkan prediksi masa depan dengan tingkat ketepatan tinggi, kini hal itu tak bisa lagi dilakukan karena mempertimbangkan meningkatnya ketidakpastian dan kompleksitas bisnis. Sebagai gantinya, mereka diarahkan untuk mampu mengidentifikasi berbagai alternatif yang bisa terjadi, seraya merancang bisnis yang inovatif dan fleksibel dalam menghadapi kondisi tersebut. Peserta didik perlu dibekali softskills lainnya yang tidak terakomodasi dalam kurikulum pembelajaran. 

 

Keenam, perubahan metode pembelajaran. Peran tenaga pendidik pada sekolah bisnis harus beralih dari sekedar mentransfer pengetahuan menjadi seorang fasilitator dalam diskusi, praktisi dalam bisnis yang kaya dengan pengalaman, serta mampu menjadi pengarah nilai/pengawal etika dalam berbisnis (attitude). Selama ini karakter etis dan sikap moral dalam berbisnis masih sangat diperlukan agar mahasiswa tidak terseret perilaku bisnis yang semata berorientasi pada maksimalisasi profit dan mengesampingkan aspek etis dalam bisnis. Tenaga pendidik dapat berperan dengan baik di sini, apabila memiliki pengalaman yang kaya, mampu mengembangkan kemutahiran studi kasus yang berbasis data lapangan (project-based learning) sebagai bahan diskusi, mampu mengkritisi praktik dalam dunia bisnis dari sisi etika. Pengakuan terhadap pengalaman kerja di lapangan, dan juga kemampuan atau ketrampilan yang diperoleh lewat kursus singkat yang bersertifikasi, memberi peluang pada pendidikan bisnis untuk menambahkan program sertifikasi yang relevan bagi para mahasiswanya selain pendidikan formal yang diberikan.

 

Ketujuh, membangun atmosfir akademik berorientasi kewirausahaan melalui penciptaan entrepreneurial university sebagai bagian dari hidden curriculum. Hal ini dapat diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan dan program yang pro iklim kewirausahaan di universitas.

 

Pada akhirnya, Pendidikan bisnis harus bertransformasi. Tranformasi pendidikan bisnis akan berhasil apabila para pengampu kepentingan – penyelengara pendidikan bisnis, dunia industri dan pemerintah – berkolaborasi secara harmonis untuk mewujudkan startegi besar Making Indonesia 4.0. Kejelasan fungsi dan peran masing-masing pengampu kepentingan perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan program. Semoga artikel ini bermanfaat bagi sobat dunia kampus [ ]

 


 

Posting Komentar untuk "Haruskah Pendidikan Bisnis Bertransformasi di Era 4.0?"