Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makna Penting Membangun Kerjasama Bagi Perguruan Tinggi

Mengembangkan kapasitas manusia dapat juga berarti bahwa kita meningkatkan kapasitas atau kemampuan seseorang. Kapasitas bukan saja berkait dengan aspek-aspek akademik semata, tetapi juga berkelindan juga dengan kemampuan membangun kerjasama di dalam sebuah kelompok besar. Kelompok yang dipersatukan oleh sebuah tujuan yang telah disepakati bersama. 

Makna Penting Membangun Kerjasama Bagi Perguruan Tinggi
Gambar oleh Peggy und Marco Lachmann-Anke dari Pixabay

Mencapai tujuan bersama bukan pula pekerjaan yang mudah. Organisasi pendidikan seperti universitas atau perguruan tinggi yang komposisi anggota civitasnya bersifat plural, multi etnis, multi agama, beragam warna kulit, multi kultur, berbagai latar belakang keahlian dan asal sekolah merupakan sesuatu yang unik. Unik karena pengelolaan lembaga pendidikan tinggi seperti ini memerlukan kecerdasan dan kebijaksanaan (wisdom) agar perbedaan latar belakang itu dapat dikelola menjadi sebuah kekuatan.

Banyak pengalaman telah mengajarkan kepada kita bahwa di dalam pluralisme atau multikultur itu selalu saja ditemui sifat-sifat dan sikap-sikap kohesif dan adhesif. Sikap kohesif merupakan faktor integrasi yang bisa mendorong terjadinya kerjasama, koordinasi serta solidaritas. Tetapi sikap adhesif bisa menjadi cikal bakal terjadinya pragmentasi yang dapat merugikan lembaga karena sifatnya yang pragmatis, seketika. Dalam terminologi manajemen, sikap adhesif akan lebih cocok untuk mewadahi orang-orang yang menyatu atas pertimbangan kepentingan sesaat, bersifat ad-hoc, sementara waktu. Jika kepentingan telah terpenuhi, maka ketika itu pula mereka ‘membubarkan diri’. Sikap adhesif saya lukiskan sebagai sebuah organisasi kepanitiaan. Sebuah organisasi yang dibutuhkan hanya untuk menyelesaikan satu persoalan khusus. Setelah persoalan itu selesai dikerjakan, maka organisasi kepanitiaan itupun dapat segera dibubarkan.

Di dalam pengelolaan lembaga pendidikan tinggi yang banyak diperlukan adalah sikap-sikap kohesif. Karena sikap kohesif dibangun atas dasar kepentingan bersama. Ia dibangun untuk memperjuangkan cita-cita bersama. Ia tidak terlalu bersifat pragmatis. Ia diikat oleh ‘satu kesatuan bathin’ yang tidak saja didasarkan kepada prosedur, ‘reward and punishment’, tetapi juga dilandaskan kepada kesatuan visi, kesatuan persepsi, kesatuan komitmen, sehingga membentuk suatu soliditas kelompok bagaikan sebuah rumah besar yang dihuni dan dipelihara bersama. Di dalam ‘rumah besar’ inilah berbagai kompetensi dibangun, ditingkatkan, diberi makna bersama melalui usaha-usaha bersama untuk mencapai tujuan kolektif. Salah satu kompetensi penting yang harus dibangun di dalam ‘rumah besar’ itu adalah persoalan yang menyangkut trust, saling percaya.

Menurut hemat saya, membangun kerjasama berdasarkan landasan saling percaya merupakan salah satu inti pokok dari kapasitas yang harus dimiliki oleh setiap individu di dalam sebuah lembaga pendidikan tinggi. Kita seringkali menyebut bahwa orang-orang barat adalah mereka yang menjadi pemilik paling syah tentang sifat-sifat individualistik, egoistik. Tetapi banyak penelitian telah memberi bukti kepada kita justru mereka itu dapat tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang makmur, sejahtera dan modern, karena mereka mengembangkan rasa saling percaya yang tinggi diantara warga negaranya. Kita juga menyebut diri bahwa orang-orang timur seperti kita adalah kelompok orang yang paling guyub, ramah dan paling komunal. Tetapi, pada faktanya kita menyaksikan bahwa ditengah keguyuban, kekomunalisan, keramahan, kebersamaan yang ada pada diri kita, persoalan saling percaya justru paling rendah. Kita mudah sekali saling tuding, saling curiga. Mungkin kita masih sangat memerlukan proyek bersama tentang menumbuhkan saling percaya itu.

Salah satu pertanyaan pelik kita ajukan di sini, yakni bagaimana kita membangun kapasitas untuk menumbuhkan saling percaya diantara pengelola pendidikan tinggi? Jawabannya mungkin dapat kita mulai dari sebuah eksperimentasi dengan cara membagi berbagai tanggung jawab kepada seluruh komponen civitas akademika dalam pelaksanaan aktivitas atau kegiatan. Kita melakukan eksperimentasi ini karena kita percaya dengan adigium bahwa pada dasarnya setiap individu atau orang sangat senang jika diberi tanggung jawab daripada diberi tugas yang dinilai tidak terlalu bermakna. Kita memberikan tanggung jawab itu sekaligus dengan memberikan kepercayaan untuk mengelola amanah. Oleh karena itu, ada baiknya, sejak sekarang sudah mulai dibiasakan atau diupayakan untuk mendelegasikan berbagai aktivitas dan tanggung jawab itu kepada semua bagian manajemen pendidikan. Pelibatan semacam ini, tentu saja setelah kita melakukan penilaian secara rasional bahwa orang yang diberi tanggung jawab dan kepercayaan itu dipandang memiliki kapasitas, kemampuan yang memadai untuk melaksanakan amanah tersebut.

Memang, memberi tanggung jawab dan kepercayaan dapat memiliki jangkauan yang jauh. Tanggung jawab dan kepercayaan juga sekaligus ‘menguji’ komitmen seseoreang terhadap masa depan lembaganya. Oleh karena itu, salah satu persyaratan untuk membangun kerjasama adalah komitmen yang tidak dipertanyakan lagi. Komitmen yang menyangkut pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Komitmen rencana kerja, komitmen tentang penerapan strategi untuk mencapai tujuan bersama. Komitmen menjadi sesuatu yang harus selalu dibudayakan, dihormati dan dilaksanakan tanpa kompromi. Sebuah komitmen adalah landasan kokoh dari besaran usaha untuk mencapai masa depan yang telah ditentukan bersama.

Kapasitas lain yang perlu dikembangkan berkenaan dengan membangun kerjasama adalah penanganan konflik. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat kita hindari. Banyak orang berkonflik disebabkan oleh cara pandang yang berbeda. Bisa juga konflik diakibatkan oleh interes-interes pribadi yang terlalu besar. Atau bahkan konflik dapat terjadi dikarenakan harapan-harapan yang terlalu besar, tetapi harapan-harapan itu kurang dapat disalurkan. Oleh karena itu, konflik harus ditangani secara ilegan, terhormat dan saling menguntungkan. Kompetensi seseorang yang dapat menyelesaikan sengketa akibat konflik merupakan kapasitas dan kemampuan yang dibutuhkan, karena menyelesaikan konflik memerlukan kecerdasan tersendiri. Biasanya penyelesaian konflik dilakukan lewat apa yang sering kita sebut sebagai “win-win solution”. Kemampuan menangani konflik secara “win-win solution” seperti di atas merupakan salah satu kompetensi di dalam membangun kerjasama.

Bagi institusi-istitusi yang ‘belum matang’ tetapi mempunyai modal tradisi-tradisi yang kuat, komunitasnya memahami nilai-nilai agama yang baik, memiliki budaya luhur berdasarkan landasan perkauman, saya lebih cenderung untuk menggunakan cara-cara mediasi atau arbitrase (juru pisah) dalam penyelesaian konflik, sebelum konflik itu berkembang jauh. Apalagi konflik itu didorong untuk diselesaikan di lembaga pengadilan. Saya menganjurkan hal seperti ini bukan tanpa sebab. Menurut hemat saya kegiatan mediasi itu mempunyai keunggulan. Ia tidak memerlukan biaya besar. Mediasi itu murah. Apalagi di dalam mediasi itu terdapat unsur-unsur atau nilai-nilai yang menyambungkan kembali silaturahim di dalam penyelesaian sengketa atau konflik.

Oleh karena itu, kemampuan mediasi dan penyelenggaraan arbitrase menjadi salah satu kapasitas yang sangat diperlukan di dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Kompetensi ini harus dibangun dengan seksama dan bersama-sama. Kita sudah tak memungkinkan lagi menggunakan kepemimpinan perguruan tinggi dengan menggunakan jargon seperti ‘angry man atau angry women’. Kesalahan atau konflik yang muncul cenderung diselesaikan dengan cara-cara marah, emosional. Padahal, kita semua mengetahui dan mengerti bahwa perbedaan pandangan dan persepsi terhadap sesuatu soal yang berkaitan dengan cara-cara kita mencapai tujuan bersama tidak bisa dipersalahkan dengan begitu saja. Kita harus menyelesaikannya dengan mengacu kepada aturan-aturan main yang telah disepakati dan menjadi dasar dari semua prilaku pengelolaan lembaga.

Oleh karena itu, salah satu hal penting untuk memngun kapasitas pemimpin, kapasitas staf dan dosen dalam hal penyelesaian berbagai masalah yang berpotensi akan menimbulkan konflik, adalah upaya yang terus menerus mendidik agar setiap anggota civitas akademika menghormati aturan-aturan yang telah dibuat bersama. Apalagi jika kita tahu bahwa aturan-aturan main untuk pengelolaan pendidikan tinggi tersebut belum lengkap dan rinci.

Seri Tulisan Gagasan & Pemikiran Muchlis R. Luddin (1960 – 2021) 

 

Posting Komentar untuk "Makna Penting Membangun Kerjasama Bagi Perguruan Tinggi"