Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Politik pendidikan dan aspirasi masyarakat

Politik pendidikan dan aspirasi masyarakat

Tahun-tahun belakangan ini kita dikejutkan dengan berbagai peristiwa. Di lembaga-lembaga pendidikan, baik di jenjang pendidikan dasar dan menengah, maupun di dunia kampus, terjadi peristiwa-peristiwa seperti ini : Keputusan rektor untuk ‘menyesuaikan’ sumbangan pendidikan dan pengajaran dilawan atau ditolak oleh para mahasiswa senior yang sedang mengikuti kuliah. Pemecatan atau pemberian sangsi akademik atau skorsing terhadap sejumlah mahasiswa yang sudah kadaluarsa, bandel, dan ‘menjadi preman kampus’ dilawan dengan kekerasan, bahkan menggunakan cara-cara brutal dengan merusak fasilitas kampus. Gedung dan ruang kuliah dibakar. Kaca-kaca jendela dihancurkan. Dosen atau tenaga pengajar dikejar-kejar oleh mahasiswa yang marah dengan membawa balok kayu untuk dipukulkan kepada dosen tersebut. Para tenaga administrasi dan tenaga pengajar itu lari lintang pukang, secepat mungkin, menyelamatkan diri. Sementara polisi yang diberitahu, dan diminta untuk membantu menyelesaikan persoalan tetap terpaku diam dikantornya, menunggu laporan resmi datang. Pintu gerbang kampus dikunci rapat dengan gembok yang tahan gergaji oleh para mahasiswa. Sementara sejumlah mahasiswa lain yang melakukan anarki, berjaga-jaga membentengi diri di dalam kampus melalui pembakaran ban-ban bekas, melengkapi diri dengan golok, badik, celurit. Batu kali, batu kerikil, batu bata sengaja ditumpukan sebagai alat atau senjata ‘perburuan’ yang siap dilemparkan. Fasilitas kampus lainnya seperti mobil dinas, ruang komputer, laboratorium, kursi kuliah, diobrak abrik dengan emosi yang besar dan memuncak-muncak, sehingga hancur lebur tak karuan. Sementara itu, para mahasiswa tersebut mengumpulkan semua jaket almamater—yang selama ini mereka banggakan dan menjadi atribut yang mereka junjung tinggi-tinggi---untuk dibakar dibawah sorot kamera televisi dan moncong microphone siaran langsung radio.

Kampus kemudian diliburkan sampai batas waktu yang tak ditentukan. Jadwal belajar menjadi amburadul. Ujian semester dan ujian skripsi tertunda. Perkuliahan mandeg dan sama sekali tidak berjalan. Dikalangan mahasiswa terjadi pembelahan atau segmentasi. Ada kelompok yang setuju dengan tingkah ‘mahasiswa radikal’ tersebut. Sebagian besar lagi terpaku, termenung, tak dapat berbuat apa-apa, karena khawatir akan diintimidasi oleh para perusuh kampus tersebut. Sekelompok mahasiswa yang lain tak mau ambil peduli terhadap situasi yang berkembang. Mereka hanya duduk di sekitar kampus atau kembali kerumah,  untuk melihat perkembangan kondisi serta situasi kampus via surat kabar atau televisi atau radio.

Kampus, belakangan ini, agak terbiasa dengan ‘cucuran darah’ warganya. Peristiwa seperti di atas, agaknya, mustahil kita lihat sepuluh atau dua puluh tahun yang lampau. Jika sepuluh tahun yang lalu, kampus berdarah disebabkan serangan pihak luar, di dalam konteks perjuangan reformasi. Sebuah perjuangan untuk membangun wajah baru peradaban umat manusia yang ingin hidup lebih sejahtera, lebih adil, lebih demokratis, lebih transparan, lebih akuntabel, serta lebih partisipatif, tanpa adanya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme. Tetapi, belakangan ini, darah yang mengalir di dalam kampus disebabkan oleh terjadinya konflik internal yang bersumber dan bertumpukan dari dalam kampus itu sendiri.  

Mari kita perhatikan juga di lembaga pendidikan yang jenjangnya lebih rendah. Banyak sekolah, baik Sekolah Dasar maupun Sekolah Menengah Pertama atau Sekolah Menengah Umum, juga mengalami peristiwa-peristiwa seperti itu. Atau setidak-tidaknya mirip dengan apa yang terjadi di perguruan tinggi. Kita menyaksikan banyak guru yang dilawan oleh murid-muridnya. Guru diejek oleh anak didiknya sendiri. Guru kemudian menempeleng anak didiknya sampai biru lembam. Anak-anak itu mengalami trauma untuk masuk sekolah.

Sejawat guru saling ‘meniadakan’. Seorang guru ‘menembak’ atau ‘menganiaya’ rekan guru yang lain, sejawatnya, sampai cacat. Orang tua bergegas berangkat ke sekolah karena menerima pengaduan anak yang dihukum guru, karena lalai menjalankan tugas dan kewajiban. Orang tua ‘menghajar guru’ sebagai suatu ‘pelajaran’ yang harus diterima oleh seorang guru. Kelompok orang tua merangsek masuk ke dalam kelas untuk membubarkan proses belajar mengajar yang sedang berlangsung, karena mereka kesal terhadap Kepala Sekolah dan Guru yang kurang giat mengajar, sehingga mutu pendidikan anak-anak mereka dipandang sebagai sangat rendah.

Sementara itu, banyak guru juga dikejar-kejar oleh siswanya untuk’dikeroyok’, karena menganggap guru itu berbuat tak senonoh terhadap anak-anak didiknya. Di lain pihak, antara teman sebayanya, anak-anak itu saling bertukar pasangan sebagai ekspresi dari ‘rasa cita sesama remaja’ yang tak terkendali, karena mencontoh apa yang sedang terjadi dan menjadi tren kehidupan maya (glamour). Suatu bayangan kehidupan yang mereka saksikan secara gamblang di televisi-televisi, di majalah-majalah, di internet, di layar monitor komputer, dilayar telepon bimbit atau handphone.

Kita juga menyaksikan dengan tranparan, bagaimana sekelompok guru dan kepala sekolah ‘mengerjai’ BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan BOP (Bantuan Operasional Pendidikan) seperti milik mereka sendiri. Bantuan pemerintah yang sedianya diperuntukan membantu menyelenggarakan pendidikan agar lebih baik, lebih bermutu, lebih meningkatkan kinerja, dengan sengaja dan berjamaah diubah untuk dibagikan ‘sebagai hadiah bulanan’ yang diterimakan kepada guru-guru. Tentu saja dengan perhitungan proposional, sesuai dengan jenjang jabatan dan senioritas atau besar kecilnya jam pelajaran.

Di pihak lain, komite sekolah, persatuan orang tua siswa, yang pada awalnya dibangun untuk membantu lebih memudahkan penyelenggaraan pendidikan (sebagai bentuk partisipasi masyarakat yang lebih luas), telah terjebak juga kedalam cara pandang ‘mencari uang’ dari sumber yang sama, yakni dari dalam lingkungan sekolah itu sendiri. Itu sebabnya, beban orang tua bertambah berat. Bahkan dari penelusuran berbagai kasus, komite sekolah dan persatuan orang tua siswa itu, telah berubah menjadi ‘institusi’ rente (rent seeker), yang mencari uang, mengeksploitasi uang dari para orang tua anak didik. Eksploitasi dilakukan melalui serta bekerjasama dengan para guru, kepala sekolah, pengurus yayasan, atau  pengusaha.

Kita juga disajikan dengan fakta-fakta peristiwa yang terjadi di dalam birokrasi pemerintahan. Banyak anak buah melawan atasannya atau ‘bapak buah’. Perlawanan dilakukan dengan berbagai cara dan teknik. Ada yang melawan kebijakan secara berhadapan langsung—face to face—menolak kebijakan-kebijakan yang dipandang merugikan dirinya. Ada pula yang melawan dengan cara-cara yang tersembunyi seperti membocorkan dokumen-dokumen yang dipandang rahasia atau penting kepada media cetak, media elektronik. Ada juga yang melawan dengan melakukan pelaporan tuduhan-tuduhan sumir dan maya kepada pihak berwajib.  

Fakta dan peristiwa seperti yang saya lukiskan di atas bukan terjadi tanpa sebab. Saya melihat fakta dan peristiwa itu sebagai sebuah fenomena keos. Ada ketidakaturan yang terjadi dan dirasakan oleh masyarakat. Ada nilai-nilai yang berubah, yang memaksa orang untuk melakukan tindakan tanpa perlu menghiraukan berbagai tata nilai, norma dan aturan main. Hukum, norma, nilai dan aturan main bersama, yang dalam beberapa kurun waktu yang lalu, berfungsi mengikat, memberi kerangka acuan tindakan di dalam masyarakat, sekarang ini tidak terlalu lagi dijadikan referensi oleh kebanyakan anggota masyarakat. Masyarakat ‘melakukan protes terselubung’ terhadap tidak tegaknya regulasi yang telah ditetapkan, karena seringkali regulasi itu tidak dapat bekerja untuk semua anggota masyarakat. Regulasi, hukum dan aturan main, secara mudah dapat dimanipulasikan sekehendak dirinya, apalagi manipulasi itu dilakukan oleh penyelenggara negara.

Hegemoni Kapital

Fenomena keos juga tidak berdiri sendiri. Ia hadir dan menjadi ‘kebiasaan’masyarakat disebabkan juga kuatnya hegemoni kapital di dalam praktik kehidupan masyarakat. Hegemoni kapital ini merasuk kesemua elemen kehidupan masyarakat, tidak terkecuali juga merambah masuk secara deras pada praktik penyelenggaraan pendidikan kita. Hegemoni kapital ini juga mengubah sistem penyelenggaraan pendidikan kita menjadi lebih condorng kepada liberalisasi sistem penyelenggaraan pendidikan. Akibatnya, yang tampak secara kasat mata adalah para pemilik modal mengendalikan semua lini praktik pendidikan atau praktik atau interaksi sosial lainnya di dalam kehidupan masyarakat.

Praktik kehidupan masyarakat, kemudian, berkembang pada landasan yang bercirikan kuatnya pengaruh azas traksaksional. Kebijakan politik pendidikan dibuat setelah mempertimbangkan berbagai untung dan rugi, yang menyembunyikan berbagai tujuan mulia pendidikan. Kehidupan politik nasional kita juga sangat transaksional, meminjam terminologi beberapa ahli ilmu sosial, dimonopoli oleh ‘kelompok moderat dalam’ dan kelompok moderat luar’. Kehidupan dan praktik politik tidak dikendalikan oleh kelompok radikal dalam atau kelompok radikal luar. Sehingga yang terjadi adalah tawar menawar, negosiasi. Semua keputusan politik diambil sebagai hasil kompromi transaksional dari kelompok-kelompok moderat ini. Sebuah aliansi kelompok yang sangat bertumpu pada kepentingan kapital. Akibatnya, regulasi dibuat setelah proses negosiasi diantara kekuatan kelompok-kelompok politik moderat (dalam dan luar) yang ada di dalam parlemen atau pemerintahan.

Demikian pula yang terjadi pada ranah penegakan hukum. Penegakan hukum juga diwarnai azas trasaksional kepentingan kelompok moderat dalam dan kelompok moderat luar, serta ‘besarnya nilai uang’ yang ada di dalam kasus-kasus hukum. Hukum bukan diletakan lagi sebagai muara terakhir (the last resort) dan benteng keadilan, tetapi menjadi berada dibawah kontrol kekuatan kapital.

Pertanyaannya kemudian adalah seberapa lama fenomena keos ini akan berlngsung? Apa yang akan dilakukan oleh pemerintahan negara untuk mengatasi maraknya fenomena keos di dalam hampir semua segi kehidupan masyarakat? Seberapa lama, masyarakat akan dapat bertahan mengikuti pola-pola kehidupan yang keos (tampa aturan, tanpa nilai, tanpa norma, tanpa adab, tanpa teladan, tanpa acuan, tanpa kepemimpinan) semacam itu? Bukankah fenomena seperti itu akan memupuk sikap-sikap ambivalensi di dalam kehidupan masyarakat? Bukankah sikap ambivalensi ini akan memperluas segmentasi radikal di tengah masyarakat? Bukankah segmentasi itu akan mudah memicu radikalisme kolektif di dalam masyarakat? Mungkinkah fenomena keos yang merata ini akan berujung pada tuntutan ‘reformasi baru’ yang lebih radikal di kemudian hari? Mari kita merenungkan fenomena keos ini secara obyektif, agar bangsa dan masyarakat kita terhindar dari perbuatan-perbuatan yang merugikan masa depan kita bersama sebagai bangsa yang beradab!

Missing Link Politik Pendidikan

Ada kegalauan koletif yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat luas, tidak terkecuali juga hal itu terjadi di dalam dunia pendidikan. Kegalauan itu berasal dari semakin tidak adanya hubungan yang signifikan antara aspirasi kolektif elite politik dan atau elite pemerintahan dengan aspirasi kolektif masyarakat di tingkat ‘grass root’, yang setiap saat mengalami proses reduksi nilai kehidupan.

Para elite politik atau para penguasa, pengambil kebijakan di dalam pemerintahan berpikir dengan cara dan perasaannya sendiri. Sementara itu, masyarakat juga berpikir dan mengharap melakukan kegiatan dengan cara serta aspirasinya. Antara aspirasi, perasaan penguasa dengan rakyatnya seolah-olah tidak menyambung. Pemerintah mengatakan A, rakyat mengharapkan B. Aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat menginginkan C, tetapi yang dikerjakan oleh pemerintah adalah D. Keadaan seperti itu telah berlangsung lama. Hampir sepuluh tahun reformasi digulirkan, semakin besar jurang aspirasi itu menganga. Seolah-olah rentang aspirasi itu kian hari, bergerak kian melebar. Tidak ada upaya yang mendekatkan jarak jurang disparitas aspirasi, perasaan, kehendak masyarakat dengan pemerintahnya. Yang terjadi kemudian adalah pemerintah berjalan sendiri sesuai dengan keyakinannya sendiri. Sementara itu, rakyat juga berjalan dengan keyakinan dan kegigihan mempertahankan hidupnya sendiri.

Itu sebabnya, pemerintahan negara dirasakan tidak hadir di tengah-tengah masyarakat. Rakyat kesulitan mencari pemerintahannya di dalam praktik kehidupan sehari-hari. Berbagai persoalan masyarakat, jarang sekali dapat diselesaikan secara tuntas oleh pemerintahan negara. Elite politik, elite pemerintah, asyik dengan cara pandang dan aspirasinya sendiri. Seolah-olah aspirasinya itulah yang dianggap paling mujarab untuk membawa masyarakat kepada dunia yang lebih menjanjikan. Tetapi, kita juga menyaksikan bahwa yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah penyelesaian konkrit terhadap problema nyata yang sedang, dan selalu dihadapi oleh masyarakat di dalam kehidupan mereka seharai-hari.

Kondisi semacam itu, menggambarkan bagaimana pemerintahan negara berada di dalam situasi ‘seolah-olah ada dan memerintah’, tetapi pada faktanya, di tengah-tengah masyarakat bahwa ‘pemerintahan negara itu tidak ditemukan, tidak hadir, serta tidak memiliki link’ dengan masyarakat.

Fenomena semacam itu telah dibuktikan oleh masyarakat. Masyarakat harus menyelesaikan sendiri setiap persoalan yang dihadapinya. Masyarakat tidak dapat lagi mengharapkan pemerintah untuk dapat segera menyelesaikan masalah yang dihadapi. Bahkan banyak peran dan kewajiban pemerintah yang sudah diambil alih oleh masyarakat, karena pemerintah sudah dianggap gagal dan tak mampu menyelesaikan persoalan masyarakat. Fenomena missing link dapat kita lihat dari banyaknya sekolah-sekolah yang rusak, ambruk tak mendapatkan perbaikan bertahun-tahun. Banyak anak-anak dari keluarga tak mampu, setengah mampu, yang kesulitan masuk ke sekolah dibiarkan begitu saja, sehingga mereka tidak mendapatkan pelayanan pendidikan. Banyak insfrastruktur pendidikan yang rusak, tetapi pemerintahan negara tak peduli dengan kerusakan itu dan sebagainya. Nasib guru yang jauh dari kehidupan riil masyarakat juga tak diberi perhatian yang memadai. Apalagi, kemudian, gaji guru dimasukan di dalam perhitungan 20 % buget anggaran pendidikan Departemen Pendidikan Nasional. Sementara itu, kita mengetahui bahwa guru-guru tersebut adalah PegawaiNegeri Sipil seperti juga pegawai di departemen lain yang juga PNS. Mengapa gaji PNS di departemen lain (di luar depdiknas) tidak dimasukan menjadi anggaran departemennya? Mengapa gaji mereka tetap dimasukan kedalam kategori gaji PNS secara keseluruhan. Citra yang mengemuka di dalam kehidupan pendidikan (masyarakat) adalah terjadinya pembiaran sistematis pemerintahan negara terhadap berbagai problema pendidikan yang dihadapi oleh masyarakat. Pemerintahan negara tampak kurang peduli dengan besarnya harapan rakyat terhadap dirinya. Pemerintahan negara hanya berputar dari aspirasi elite ke aspirasi elite. Dari kepentingan elite tertentu ke kepentingan kelompok elite yang lain. Sirkulasi politik elite semacam itu, dengan sendirinya, akan menjauhkan pemerintahan negara dengan rakyatnya. Dan situasi ini sedang dialami oleh dunia pendidikan kita sekarang ini.

Kasus-kasus seperti di atas, sekali lagi, memperkuat konfirmasi bahwa terdapat jurang yang sangat dalam antara aspirasi masyarakat dengan aspirasi elite pemerintah. Apa yang dipikirkan oleh pemerintah tidak ‘macthing’, tidak klop, tidak menyekrup dengan apa yang diinginkan, dirasakan, oleh rakyat. Dengan demikian, terjadi ‘cutted link’, hilangnya keterhubungan aspirasi, harapan, dan keinginan antara rakyat dengan pemerintahnya. Akibat paling kentara adalah bahwa setiap kebijakan politik pendidikan seringkali berdampak negatif terhadap rakyat. Rakyat selalu berada pada sisi penanggung risiko yang besar. Sementara pemerintah menjadi agen-agen ‘rent seeker’ yang hanya peduli terhadap ‘partisipasi masyarakat’ dalam konteks menarik sebesar-besarnya kapital yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Kesadaran Kolektif Bersama

Apa yang harus kita lakukan, ketika kesadaran kolektif para elite penguasa tidak klop, atau tidak sama, dengan kesadaran kolektif masyarakat? Bagaimana mengatasi jurang disparitas yang begitu besar di antara keduanya? Dan, bagaimana masa depan pendidikan kita, jika jurang disparitas atau missing link tersebut masih belum dapat kita dekatkan dalam beberapa tahun kedepan?

Kita amat menyadari bahwa apa yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita belakangan ini disebabkan oleh semakin kuatnya pengaruh praktik-praktik liberalisasi pendidikan di negara kita. Memang, kita mungkin tidak bisa menghindari arus liberalisasi pendidikan semacam itu, karena kita juga mengetahui bahwa hal itu menjadi konsekuensi logis yang harus kita hadapi, karena kita sudah menetapkan bahwa kita merupakan bagian dan akan mengambil bagian dalam globalisasi.

Namun demikian, aspirasi masyarakat tentang antisipasi terhadap globalisasi itu, seringkali juga tidak dapat ditangkap oleh apparatus pemerintahan negara. Banyak sekali agen atau petugas pemerintahan negara yang tidak memahami apa yang menjadi kehendak dan maksud masyarakat. Aparat pemerintah seringkali tampak menyikapi aspirasi pendidikan masyarakat itu dengan ukuran-ukuran yang ada dan telah dipandang ‘given’ oleh dirinya atau institusinya. Ada situasi dimana apparatus lebih senang atau merasa nyaman dengan apa yang telah mereka kerjakan selama ini. Sementara itu, kesadaran kolektif ditingkat masyarakat sudah jauh berubah. Tidak saja aspirasi pendidikannya berubah, tetapi juga perubahan terjadi pada situasi psikologis masyarakat untuk menghadapi perkembangan zaman.

Salah satu jalan penting untuk memberikan jembatan terhadap ‘missing link’, jurang disparitas kesadaran kolektif antara penguasa yang berada ‘di atas’, dan masyarakat yang berada ‘di bawah’, ‘di grass root’, adalah dengan membangkitkan kesadaran kolektif bersama untuk membangun kehesifnes kolektif. Dalam arti ini, yang kita perlukan adalah bagaimana setiap orang, baik itu kelompok elite maupun masyarakat awam, dapat saling memahami dengan lebih utuh terhadap segala sesuatu yang diperlukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pendidikan yang selama ini menjadi krusial. Kohesifnes kolektif, saya maksudkan, untuk memberi ruang yang lebih luas agar terjadi proses penyadaran bersama , baik di tingkat elite penguasa maupun di tingkat rakyat, bahwa persoalan dapat diselesaikan dengan melakukan intervensi prioritas yang harus dilakukan agar masalah yang dihadapi masyarakat itu bisa diselesaikan bersama-sama.

Saya banyak menyaksikan bahwa mutu aparatus pemerintahan negara kita juga sering mengalami kebingungan kolektif di dalam menterjemahkan berbagai kebijakan politik pendidikan yang dilansir oleh para elite. Dengan kata lain, terdapat berbagai level ‘missing link’ di dalam praktik penyelenggaraan pendidikan kita disebabkan oleh perbedaan kesadaran kolektif yang besar antara para elite politik dan penguasa  di satu pihak dengan kesadaran kolektif para anggota masyarakat di pihak lain.

Pada tingkat birokrasi pemerintahan negara misalnya, setiap kebijakan politik pendidikan yang telah ditetapkan oleh elite penguasa seringkali tak persis sama dipraktikan pada level implementasi, sesuai dengan maksud dan tujuan kebijakan politik pendidikan tersebut. Akibatnya, terjadi begitu banyak distorsi atau penyimpangan di tingkat implementasi. Dampak turunan dari pelaksanaan yang bersifat distorsif adalah munculnya sikap-sikap pembiaran masal untuk menghindari bertumpuknya tanggung jawab di suatu institusi atau di satu orang. Orang kemudian saling menunggu, saling melihat, saling mengandalkan, saling melempar tanggung jawab.

Yang lebih memprihatikan, situasi dan kondisi seperti itu dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan kepentingan tertentu untuk membangun citra melalui jargon pembelaan, jargon kepedulian, jargon keprihatinan. Itulah kemudian politik pencitraan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan politik pendidikan beberapa tahun terakhir. Agar kita terhindar dari situasi yang menjebak seperti di atas, maka kesadaran kolektif bersama, antara warga masyarakat menjadi sangat penting. Mungkin, kita tidak terlalu setuju dengan membiarkan pemerintah berjalan sendiri, tanpa ada kepedulian kita sama sekali.

Kita tidak menghendaki berkembangnya anggapan bahwa sekarang kita sudah tidak memerlukan lagi apa yang disebut dengan ‘pemerintahan negara’, walaupun pemerintahan negara selalu saja tidak ada, tidak hadir, tidak tampak, ketika masyarakat sangat membutuhkannya. Mungkin, yang perlu dikembangkan adalah memberi persemaian logika masyarakat yang dapat berjalan sendiri tanpa mengharuskan kehadiran pemerintahan negara, sehingga ada kompetisi yang sehat antara logika masyarakat dengan logika pemerintahan. Jika kompetisi ini berjalan, konfigurasi aspirasi akan mengkristal dan akan menjembatani jurang disparitas, sehingga missing link politik pendidikan dengan aspirasi masyarakat dapat dipertautkan kembali.  

Seri Tulisan Gagasan & Pemikiran Muchlis R. Luddin (1960 – 2021)

Posting Komentar untuk "Politik pendidikan dan aspirasi masyarakat"