Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kemiskinan Akar Masalah Sosial

Oleh: Dedi Purwana

Masih terngiang dalam ingatan kita aksi teror yang terjadi di beberapa bagian kota Paris. Akibat aksi ini, ratusan korban tak berdosa tewas. Ratusan  korban pula mengalami luka berat dan kritis. Tentu tidak hanya di Perancis, tindakan terorisme marak terjadi di berbagai belahan dunia dan selalu mengundang sorotan banyak pihak. Berbagai klaim yang melatarbelakanginya kerap dimunculkan, seperti ideologi transnasional, konflik berlatar kekuasaan serta politik, dan sebagainya. Namun bila kita cermati lebih mendalam,  kemiskinan dan kesejangan sosial ternyata merupakan pemicu tumbuh suburnya tindakan radikalisme.

Dunia Kampus - Kemiskinan Akar Masalah Sosial
Foto oleh Mumtahina Tanni dari Pexels

Kemiskinan ditengarai sebagai akar permasalahan munculnya berbagai aksi teror. Kelompok marjinal sangat rentan diiming-imingi untuk terlibat aksi ini. Imbalan uang menjadi motivasi utama keterlibatan mereka dalam jaringan radikal. Tingginya angka pengangguran, PHK dan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup memaksa orang untuk bertindak diluar batas akal sehat. Bagaimana mungkin ketika kebutuhan dasar seseorang tidak terpenuhi, dia akan berfikir rasional?.

Ketimpangan ekonomi antara kelompok miskin dan kaya yang mencolok semakin membangkitkan dan menyebabkan terjadinya tindak kekerasan di dalam masyarakat. Perbedaan itulah yang menambah daya tarik bagi kelompok teroris untuk mengorganisasi tindakan kekerasan. Tingginya angka kemiskinan di tanah air menyebabkan bangsa ini rentan disusupi organisasi radikal. Lalu apa dan bagaimana peran pemerintah bersama masyarakat mengatisipasi munculnya riak-riak radikalisme di tanah air?

Negara Zonder Teror

Memetik pelajaran dari aksi teror di Perancis, pemerintah sejatinya menghadirkan rasa aman bagi rakyatnya. Setiap warga negara tentu mendambakan lingkungan tanpa teror. Boleh jadi pemerintah memiliki pasukan anti teror yang mumpuni. Namun belum mampu mengatasi akar masalah pemicu aksi teror yaitu tingginya angka kemiskinan.

Sudah seharusnya Pemerintah menjamin keadilan ekonomi bagi masyarakat, selain hak mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak.  Ketiga indikator pembangunan ini saling terkait satu dengan lainnya. Pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai tanpa sumberdaya manusia produktif - hasil dari pendidikan bermutu dan layanan kesehatan berkualitas.

Masyarakat pun berkewajiban menghadirkan rasa aman bagi lingkungannya sendiri. Tanggung jawab ini tentu tidaklah mudah. Dengan berbagai alasan, konflik horizontal sering terjadi. Tawuran antar warga menunjukkan tipisnya kesadaran kita tentang makna saling menghormati dan menghargai. Hanya karena persoalan sepele, perang batu antar kampung terjadi. Atau hanya karena mempertahankan adat istiadat dan wilayah kekuasaan, perang antar suku tak terhindarkan. Begitu mudahnya emosi masyarakat tersulut akibat perbedaan agama dan kepercayaan. Bibit-bibit permusuhan bila dibiarkan akan membuat masyarakat apatis. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah melakukan pembenaran terhadap maraknya aksi-aksi radikalisme.

Aksi  Bersama

Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat menabuh genderang perang terhadap terorisme. Pendidikan karakter bagi seluruh lapisan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi kelompok marjinal harus dilaksanakan segera. Beberapa langkah berikut kiranya patut dipertimbangkan.

Pertama, penanaman nilai-nilai cinta damai dan kemandirian ekonomi harus dimulai dilingkungan keluarga. Orang tua menjadi role model bagi anak. Anak tidak akan berperilaku kasar, bila lingkungan rumah merupakan tempat yang nyaman bagi perkembangan psikologinya. Keharmonisan rumah tangga akan membentuk sikap anak untuk menghargai hak-hak orang lain. Kemandirian ekonomi dapat diajarkan dalam bentuk menumbuhkan intensi kewirausahaan sejak anak berusia dini.  Edukasi literasi keuangan keluarga seyogianya mulai diperkenalkan.

Kedua, pranata pendidikan harus mampu menghadirkan hidden curriculum yang mendorong budaya santun dan saling menghargai. Budaya ini akan terbawa ketika masa dewasa, mereka harus berinteraksi dengan lingkungan sosial dengan latar beraneka ragam. Sekolah dan pondok pesantren seyogianya memberikan ruang gerak lahirnya kreatifitas dan inovasi dalam pembelajaran di kelas. Pada tingkatan lebih tinggi, kampus bekerjasama dengan BNPT merancang dan merumuskan model pendidikan pencegahan aksi terorisme di perguruan tinggi. Kampus harus mampu menanamkan nilai-nilai unity in diversity sebagai bagian dari budaya akademik. Sungguh ironis, manakala di dalam kampus masih ada tawuran mahasiswa antar fakultas.

Ketiga, menjadikan sarana ibadah penggerak ekonomi rakyat. Masjid berfungsi sebagai tempat ibadah bagi kaum muslim namun sekaligus bisa dijadikan motor gerakan ekonomi syariah bagi lingkungan sekitarnya. Masjid menjadi rujukan model pembelajaran yang baik dalam penerapan akuntabilitas dan transparansi ketika mengelola kasnya. Masjid, misalnya dapat mengelola dana umat untuk pemberdayaan ekonomi umat melalui BMT. Bayangkan bila semua masjid memiliki BMT maka pontensinya sangat luar biasa dalam memasyarakatkan ekonomi syariah. Lebih lanjut, Kumpulan BMT bisa membentuk sebuah holding berupa koperasi syariah. Bila ini terlaksana, tentu kita berharap masjid dapat berperan mengentaskan kemiskinan. Dan pada saat yang sama mampu menjadi inkubator kewirausahaan syariah.

Keempat, optimalisasi dan produktifitas dana desa. Kunci keberhasilan pembangunan desa terletak pada sumber daya manusianya. Dana desa seyogianya tidak sepenuhnya dialokasikan untuk membangun infrastruktur. (simak juga artikel Mengawal Dana Desa) Sebagian dana harus dialokasikan untuk program-program produktif dalam rangka memperkuat perekonomian warga desa. Tentunya kita berharap, desa tidak lagi identik dengan kantong kemiskinan. Desa yang mandiri secara ekonomi akan mampu membentengi warganya untuk tidak mudah tergiur tawaran kelompok radikal.

Kelima, peningkatan kapasitas fungsi dan peran BNPT. Jika selama ini BNPT melakukan berbagai sosialisasi pencegahan terorime kepada warga kampus, sudah saatnya melakukan hal sama pada jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah. Progam bela negara sangat efektif disisipkan dalam kurikulum pembelajaran. Manakala ini dilaksanakan, setidaknya mampu mengikis maraknya aksi tawuran antar sekolah - cikal bakal munculnya radikalisme.

Pada akhirnya, hidup damai tanpa aksi kekerasan adalah mimpi semua orang. Kita sepakat terorisme harus lenyap dari bumi pertiwi selama-lamanya. Konstitusi mengamanatkan negara wajib mewujudkan harapan tersebut. Kemakmuran yang adil dan beradab adalah hak rakyat. Semoga saja dimasa mendatang bangsa ini  mampu meniadakan kantong-kantong kemiskinan di seluruh pelosok nusantara. []

 

Posting Komentar untuk "Kemiskinan Akar Masalah Sosial"