Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dampak 10 Bulan “Di Rumah Aja” terhadap Kesehatan Mental

Oleh: Anandita Fitri Amalia*

Pecahnya kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada bulan Maret 2020, mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan lockdown di beberapa daerah di Indonesia. Kebijakan ini berisi tentang kebijakan untuk mengurangi aktifitas di luar rumah sehingga diberlakukannya WFH (Work From Home) untuk para pekerja dan juga kebijakan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) untuk seluruh pelajar di Indonesia. Lockdown direncanakan berjalan selama 2 minggu untuk menghindari penyebaran masif virus Covid-19 di Indonesia. Namun, sudah 10 bulan telah berlalu kita masih saja harus berhadapan dengan pandemi ini. Jumlah kasus pasien positif korona yang belum menunjukan penurunan yang signifikan serta angka kematian yang tinggi menjadi salah masalah besar yang masih harus dihadapi kita hingga hari ini.

Dampak 10 Bulan “Di Rumah Aja” terhadap Kesehatan Mental
Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels

Keadaan darurat kesehatan masyarakat seperti pandemi yang sedang kita alami ini dapat mempengaruhi kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan individu maupun kelompok. Menurut survey yang telah dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), tak hanya menyebabkan masalah kesehatan, pandemi Covid-19 juga memiliki “dampak yang menghancukan” pada layaanan kesehatan mental secara global. WHO membeberkan bahwa merujuk pada survey yang dilakukan antara bulan Juni dan Agustus 2020, kesehatan mental telah diabaikan dalam krisis ini dan gangguan parah terjadi di 93 negara. Sementara 83% dari 130 negara yang di survei telah memasukan kesehatan mental dalam rencana tanggapan pandemi virus corona mereka, hanya 17% yang benar-benar menyiapkan dana penuh yang diperlakukan. Di Indonesia sendiri, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI) mencatat 68% masyarakat yang melakukan swaperiksa mengalami masalah psikologis atau mengalami gangguan kesehatan jiwa selama pandemi. Lebih lanjutnya, sebangak 67,4% masyarakat memiliki gejala cemas dengan kelompok usia dibawah 30 tahun menduduki urutan pertama. Sementara itu, 67,3% mengalami depresi selama masa pandemi di Indonesia.

Pandemi membawa perubahan besar dalam beragai aspek kehidupan dalam masyarakat sperti ekonomi dan sosial. Ketidakjelasan keadaan selama pandemi, ketakutan akan virus, dan masalah ekonomi serta kepedihan atas kehilangangan orang terdekat tidak dipungkiri menjadi pemicu kondisi mental atau memperburuk kondisi yang sudah ada. Diterapkannya lockdown dan PSBB wilayah semua aktivitas berubah dan masyarakat seakan kaget dan tak siap akan perubahan akan pandemi ini. Misalnya, pelajar mahasiswa yang tidak nyaman menghadapi PJJ dan para pekerja dalam menghadapi WFH. Selain itu, situasi ini juga memaksa beebrapa kegiatan masyarakat dalam solidaritas sosial harus ditiadakan. Pembatasan aktivitas masyarakat juga berpengaruh pada aktivitas bisnis yang kemudian berimbas pada perekonomian. Hal ini tentu saja menyebabkan efek domino karena penurunan omset dalam bisnis dapat menyebabkan kebangkrutan dan akhirnya menyebabkan adanya karyawan yang dirumahkan. Hal ini otomatis mempengaruhi sektor ketenaga kerjaan yaitu peningkatan jumlah pengangguran danperubahan lanskap pasar tenaga kerja pasca-krisis.

Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi dan berefek pada berbagai reaksi emosional seperti tekanan kondisi kejiwaan, isolasi sosial, kehilangan akses hak hidup dan tinggal, perilaku tidak sehat (seperti penggunaan zat berlebihan) bahkan depresi. Masalah kesehatan jiwa juga akan menimbulkan masalah sosial seperti kekerasan di rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perceraian, kriminalitas, kenakalan remaja, penyalahgunaan NAPZA hingga bunuh diri. Maka dari itu dampak tersebut harus dihindari. Terutama untuk para PDP (Pasien Dalam Pengawasan), hal ini akan menghambat penyembuhan dan pemulihan diri. Selain PDP, beberapa kelompok juga memiliki kemungkinan lebih tinggi dibanding yang lain terhadap efek psikis dari pandemi ini. Diantaranya adalah orang yang rentan tertular (terasuk orang tua, orang dengan fungsi kekebalan terganggu, dan mereka yang berinteraksi atau tinggal dan bekerja di tempat umum), orang yang sudah memiliki riwayat penyakit medis, psikis, atau pengguna pengguna obat-obatan terlarang. Para penyedia layanan kesehatan seperti dokter dan tenaga medis lainnya juga sangat rentan terhadap tekanan emosiona selaa pandemi ini. Mengingat resiko terpapar virus yang sangat tinggi karena keseharian mereka yang berhadapan langsung dengan para pasien, kekurangan alat pelindung (APD), jam kerja yang lebih lama, dan keterlibatan langsung dengan permasalahan serta intrik di dalam bidang kesehatan itu sendiri. PDP, ODP, dan orang orang yang termasuk dalam kelompok diatas juga dapat mengalami depresi karena mengathui dan menerima berbagai diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Parahnya, hal yang sama juga dapat terjadi kepada para tenaga medis yang mengalami diskriminasi bahkan sampai dengan pengusiran dari tempat mereka tinggal. Hal ini sangat berpengaruh karena seharusnya masyarakat yang harusnya memberikan dukungan dan semangat sehingga PDP dan orang yang rentan merasa tidak terlalu cemas dan panik sehingga daya tahan tubuh semakin meningkat dan bisa sembuh atau lebih kebal dari virus ini.

Selain para pekerja, tekanan psikis juga dapat mempengaruhi pelajar dan mahasiswa yang sudah hampir 2 semester menjalani PJJ. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Changzhi Medical Collage di Cina, pandemi Covid-19 ini mengakibatkan 24,9% dari 7.143 responden mengalami kecemasan dalam level yang berbeda. Gejala kecemasan ini dipicu oleh berbagai hal, seperti kekhawatiran akan keterlambatan dalam hal akademik, kondisi ekonomi yang tidak stabil, dan kegiatan sehari hari yang terhalang oleh PSBB. Terlebih lagi bagi para peserta didik baru maupun mahasiswa baru. Perpindahan dan peralihan jenjang sudah menjadi pemicu adanya tekanan psikis ditambah dengan perombakan sistem menjadi pelajaran jarak jauh akibat pandemi tentu saja memperburuk stress yang dirasakan oleh pelajar dan mahasiswa. Cemas yang berkepanjangan dan terjadi secara terus-menerus dapat menyebabkan stress yang mengganggu aktivitas sehari-hari sedangkan tanggung jawab dan tuntutan kehidupan akademik dan non-akademik harus terpenuhi oleh mahasiswa dapat memicu stress yang berkepanjangan. Pada tingkat stress yang sedang sampai dengan berat dapat menghambat pembelajaran karena kehilangan motivasi belajar.

Pandemi ini memang memiliki dampak yang sangat besar dan mungkin membuat semuanya jadi terasa sulit, tetapi kita harus tetap melanjutkan kehidupan kita senormal mungkin. Untuk menghindari atau meminimalisirkan dampak pandemi terhadap kesehatan mental kita salah satunya tentu saja dengan menjaga dan merawat diri kita sendiri. Menjaga kesehatan fisik untuk meningkatkan imun kita adalah yang terpenting. Sebisa mungkin juga kita menghindari hal-hal yang membuat kita cemas dan stress. Salah satu hal yang bisa kita lakukan adalah dengan mencari pengalihan untuk kita sendiri agar terus merasa nyaman dan senang. Mengerjakan kegiatan yang disukai dan fokus kepada diri sendiri untuk mempelajari hal baru. Sebagai mahkluk sosial, kebutuhan kita untuk bersosialisasi juga terhambat karena adanya kebijakan PSBB tetapi kita dapat mengakalinya dengan memanfaatkan teknologi yang ada utuk berkomunikasi dengan orang orang disekitar kita agar kita bisa merasa tidak sendiri dan dapat menurunkan kadar stress yamg dapat mengganggu kesehatan mental kita.

Masalah kesehatan mental di Indonesia selama pandemi ini butuh perhatian yang serius. Pemerintah Indonesia harus mulai berbenah untuk menekan angka kejadian karena permasalahan Indonesia dalam menangani masalah kesehatan mental adalah kurangnya edukasi dan penyuluhan terhadap masyarakat. Peranan masyarakat di lingkungan sosial juga sangat penting untuk memberi dukungan moral kepada sesama. Semua lapisan masyarakat harus bersinergi untuk terwujudnya masyarakat yang sehat jiwa di masa pandemi Covid- 19 ini. Jaga kesehatan mental yah sobat dunia kampus!

*Mahasiswa Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Posted by Dedi Purwana

5 komentar untuk "Dampak 10 Bulan “Di Rumah Aja” terhadap Kesehatan Mental"