Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dekan Sebagai Motor Penggerak Perubahan

Oleh: Dedi Purwana

Sobat dunia kampus kali ini penulis ingin melanjutkan artikel sebelumnya yang membahas 3 peran simbolis dekan. Ketiga peran tersebut diperlukan ketika dekan berinisiatif menjadi motor penggerak perubahan. Idealnya inisiatif perubahan datang dari tenaga pendidik dan kependidikan di lingkungan fakultas. Namun, kesibukan dosen melaksanakan tugas-tugas rutin mengajar, meneliti dan melakukan pengabdian masyarakat menghambat munculnya inisiatif tersebut. Sementara, dekan sebagai pemimpin fakultas menghadapi tuntutan perubahan yang diinginkan para pengampu kepentingan seperti orang tua, mahasiswa, alumni, penguna lulusan, dan tentunya pemerintah. Sebuah dilema kepemimpinan di fakultas. 

peran dan fungsi dekan
Image by Gerd Altmann from Pixabay 

Dekan tidak bisa tinggal diam dan hanya berpangku tangan. Sejatinya perubahan adalah sebuah keniscayaan. Segala sesuatu di dunia ini selalu berubah. Berubah untuk kondisi yang lebih baik ataupun berubah menjadi tidak baik. Yang tidak berubah tentunya perubahan itu sendiri. Perubahan organisasi selalu terjadi, disadari atau tidak. Organisasi hanya dapat bertahan jika dapat melakukan perubahan. Sikap pro status quo (nyaman dengan keadaan saat ini) dekan tidak akan menguntungkan fakultas sebagai sebuah organisasi. Saatnya dekan berinisiatif menjadi motor penggerak perubahan.

Fakultas sebagai sub sistem organisasi perguruan tinggi selalu bergerak dinamis. Dinamika organisasi fakultas perlu mendapat perhatian serius dekan. Kala terpilih, dekan tentu mengusung program kerja selama satu periode. Program kerja yang diusung, bisa saja melanjutkan program kerja dekan sebelumnya yang dianggap perlu di lanjutkan. Sebagian lain, merupakan program kerja baru.

Manakala dekan melaksanakan program kerja yang menuntut perubahan organisasi, tidaklah semudah melanjutkan  program kerja sebelumnya. Ini artinya, dibutuhkan kemampuan dekan mengelola perubahan dengan baik. Jangan berharap terjadi keajaiban bahwa perubahan itu akan berlangsung mulus. Berbagai prasyarat dan tahapan semestinya diperhitungkan dengan matang. Tidak jarang inisiatif perubahan justru berdampak kemunduran bagi fakultas.

Contoh sederhana program perubahan di Fakultas, misalnya dekan ingin menerapkan program paperless dalam aktifitas korespondensi. Program ini diharapkan mampu mengurangi rantai birokrasi layanan administrasi yang acapkali dikeluhkan mahasiswa dan dosen. Dekan tentu harus memperhitungkan secara matang dukungan sarana prasarana ICT. Berapa dana yang diperlukan membangun infrastruktur ICT. Kalkulasikan pula tingkat literasi digital sumberdaya manusia yang beragam, baik usia, latar pendidikan dan pengalaman. Kapan waktu yang tepat untuk melakukan sosialisasi perubahan. Siapa dan unit kerja mana yang akan dijadikan pilot project. Dan bagaimana memonitor program perubahan berjalan sebagaimana mestinya.

Atau contoh lain ketika penulis menjadi dekan. Saat itu, jumlah publikasi artikel dosen pada jurnal internasional bereputasi sekelas Scopus sangat minim. Padahal, jumlah publikasi dosen-dosen di fakultas lain meningkat setiap tahunnya. Jujur saja budaya menulis kolega dosen tidak sebaik di fakultas lain. Saat itu, penulis berpikir keras bagaimana membuat program terobosan yang memaksa dosen mau meningkatkan kemampuan menulis artikel sekaligus mempublikasikannya.

Program tersebut dinamakan One Lecture One Scopus (OLOS). Dosen diwajibkan mengikuti beragam workshop penulisan artikel internasional bereputasi. Dosen yang mumpuni dan berpengalaman menerbitkan artikel di jurnal reputasi diwajibkan mementori dosen pemula hingga berhasil menerbitkan artikelnya. Fakultas mengalokasikan dana Article Publication Charge bagi dosen yang berhasil mempublikasikan artikelnya di jurnal internasional bereputasi. Saat yang sama, pihak universitas memberikan insentif publikasi artikel di jurnal bereputasi.

Program OLOS ini berlanjut hingga sekarang setelah penulis tidak lagi menjabat sebagai dekan. Dan kabar baiknya, program OLOS ini diadopsi oleh fakultas lain, bahkan universitas lain setelah melihat jumlah publikasi artikel dosen meningkat pesat. Ibarat sekali dayung dua hingga tiga pulau terlampaui. Itulah analogi dampak program OLOS. Pertama, budaya menulis kolega dosen semakin meningkat. Tentu ini berpengaruh positif terhadap citra fakultas. Kedua, kelancaran kolega dosen memproses usulan kenaikan jabatan baik ke Lektor Kepala maupun Guru Besar. Jumlah Guru Besar saat awal kepemimpinan penulis kurang dari 3 persen dari populasi dosen, saat ini mencapai 10% hanya dalam waktu 3 tahun perjalanan program OLOS. 

Namun demikian, program terobosan layaknya OLOS tidak akan berhasil manakala dekan tidak menjadi role model budaya aktif menulis. Tentu kolega dosen akan tergerak manakala dekan dapat membuktikan sesibuk apapun dia, ternyata masih menyempatkan waktu untuk menulis artikel ilmiah. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan bagi kolega dosen yang enggan menulis artikel ilmiah karena disibukan urusan mengajar. Toh, jika mau fair seorang dekan tentu lebih sibuk dibandingkan dosen yang tidak memiliki tugas tambahan. Dekan menghabiskan waktu melaksanakan tri darma seperti dosen lainnya, ditambah tugas manajerial mengelola fakultas.

Program-program perubahan apapun yang harus dieksekusi menuntut 3 peran simbolis dekan dilaksanakan. Perubahan seringkali berekses negatif semisal resitensi tinggi dan munculnya konflik berkepanjangan. Peran sebagai merpati perdamaian (dove), seekor naga (dragon) dan diplomat harus dimainkan secara proporsional. Saat kelompok pro status quo terhadap perubahan, misalnya mengancam keberlanjutan program perubahan, peran simbolis sebagai seekor naga sudah pasti harus diterapkan. Konflik yang muncul akibat program perubahan dapat diatasi oleh dekan menerapkan peran diplomat.

Kesimpulan yang dapat dipetik dari artikel ini adalah bahwa perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Dekan harus menginisiasi perubahan jika ingin membawa fakultas menjadi lebih baik apapun resikonya. Jangan terlalu berharap inisiatif perubahan datang dari bawahan. Perlu juga dicatat, jangan jadikan teori-teori manajemen perubahan yang ditulis buku teks sebagai acuan utama dalam melakukan perubahan di fakultas. Faktanya, wisdom sebagai pimpinan fakultas lah yang lebih banyak berperan dalam menentukan keberhasilan program perubahan. 

Posting Komentar untuk "Dekan Sebagai Motor Penggerak Perubahan"