Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Yuk Pahami Perkembangan Kewirausahaan di Indonesia!

Pengembangan kewirausahaan di tanah air tidak sepesat yang terjadi di negara-negara maju. Hal ini dibuktikan dengan minimnya jumlah wirausaha di negara kita yang hanya 3.40 persen dari total jumlah penduduk Indonesia saat ini. Persentase yang tentunya masih jauh dibandingkan negara-negara lain.  Wirausaha mampu membangkitkan perekonomian melalui penyediaan lapangan pekerjaan, mengatasi kemiskinan, kontribusi pajak kepada pemerintah, dan meningkatkan daya saing bangsa. Namun, pertanyaan yang mendasar adalah mengapa pertumbuhan wirausaha sangat minim di negara ini?

 

Yuk Pahami Perkembangan Kewirausahaan di Indonesia!
Foto oleh RODNAE Productions dari Pexels

Rendahnya jumlah wirausaha di Indonesia dilatarbelakangi kondisi dan situasi yang terjadi seiring perjalanan sejarah bangsa ini. Lintasan sejarah perkembangan kewirausahaan di Indonesia mencakup beberapa periode;

1. Periode Pra Kolonial

Sejarah mencatat bahwa pada masa pra kolonial, bangsa ini ditandai dengan berdirinya berbagai kerajaan. Pada zaman ini, struktur kerajaan yang ada terbagi menjadi dua; agraris, seperti Kerajaan Mataram; dan kedua, bersifat maritim, yang diwakili Kesultanan Aceh. Struktur semacam ini menampakkan bahwa jalur perdagangan antara kerajaan agraris dan maritim berjalan dengan lancar, di mana kerajaan agraris bertindak sebagai pemasok barang kebutuhan pokok, seperti beras dan hasil bumi lainnya yang tidak dihasilkan oleh kerajaan maritim, sementara kerajaan maritim berorientasi pada kegiatan jasa ekspor-impor.


Adapun perdagangan yang ramai ini bukan berarti tingkat kemakmuran rakyat kerajaan itu tinggi. Penelitian beberapa sejarawan membuktikan bahwa. tingkat hidup petani Jawa saat itu bersifat subsistem. Lalu siapa yang diuntungkan dengan kesibukan perdagangan - yang notabene menghasilkan keuntungan uang tunai ? Menurut Onghokham, golongan pedagang zaman itu berasal dari kalangan aristokrat, rajalah yang memegang monopoli perdagangan. Dalam konteks kebudayaan Jawa-agraris yang kratonsentris, hal ini tidaklah mengherankan, sebab raja bukan saja menjadi pemegang monopoli dagang, tapi juga sebagai pemilik tanah. Dengan sendirinya, kondisi ini menyebabkan tidak menimbulkan mobilitas modal dan kepercayaan dagang. Karena sewaktu-waktu, raja dapat mengambil tanah garapan seseorang (asalkan berada dalam lingkungan kerajaannya). Selain itu, perlu dicatat bahwa agaknya kebiasaan dagang pun bukan murni budaya Jawa. Perdagangan adalah kompetisi yang tidak sesuai dengan konteks budaya Jawa, karena “menyalahi”nilai kerukunan - patut dicatat bahwa nilai kerukunan bukan diartikan sebagai tidak adanya beda pendapat, tapi menurut mereka, beda pendapat lebih baik disimpan dan tidak dikemukakan. Ini untuk menjaga ketenteraman, biarpun di dalam hatinya ada perbedaan pendapat. Perdagangan lebih merupakan hasil interaksi raja-raja dengan pendatang.

Jadi jelas bahwa lingkungan sosial budaya nusantara pada masa pra-kolonial tidak mendukung kemunculan inovator, suatu kelas baru dalam masyarakat; yakni kelas menengah yang berdana kuat - untuk membantu penyediaan kredit - yang bukan berasal dari kalangan elite politik.

2. Periode Kolonialisasi

Dalam periode berikutnya, kerajaan-kerajaan ini mulai berkenalan dengan orang-orang Eropa. Diawali bangsa Portugis yang datang dengan motif penyebaran agama hanya bertahan beberapa puluh tahun di nusantara yang kemudian mundur ke Timor sampai 1976. Meskipun demikian, pedudukan Malaka oleh Portugis membawa dampak besar bagi perdagangan. Praktek monopoli yang diberlakukannya mengakibatkan kemunduran perdagangan internasional. Monopoli ini dilakukan untuk menutup tingginya risiko yang harus ditanggung pihak Portugis.

Setelah Portugis dipaksa mundur ke Timor, datanglah Belanda. Tidak berbeda dengan Portugis, Belanda juga menerapkan sistem monopoli. Dengan demikian, perdagangan nusantara menjadi bersifat internal dan manfaat perdagangan internasional tidak lagi dinikmati. Ini merupakan pukulan bagi perekonomian nusantara, khususnya raja-raja Jawa. Namun satu hal perlu dicatat bahwa praktek monopoli Belanda maupun Portugis sebelumnya secara tidak langsung direstui elite politik. Bagi Belanda, Indonesia tidak lebih dan sekedar penghasil bahan mentah.

Kapitalisme Belanda bukan seperti Inggris yang berorientasi pada industri, sebaliknya Belanda bersifat merkantilis yang hanya menginginkan komoditi primer dari negara jajahannya untuk kemudian diperdagangkan di pasar dunia. Dari segi sosial, di sini terlihat hilangnya fungsi yang dijalankan Syahbandar dan pedagang yang dulu sangat berperan dalam perdagangan internasional. Kedudukan pedagang perantara ini diberikan pada golongan Timur Asing. Ini terjadi setelah tahun 1799 ketika VOC bangkrut dan semua hutang serta kekayaannya diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sementara VOC hanya bertindak sebagai vassal, maka pemerintah Hindia Belanda mengubah struktur masyarakat Indonesia menjadi tiga yakni golongan atas yang ditempati pemerintah kolonial, golongan menengah diberikan kepada warga Timur Asing, sedang golongan bawah diduduki penduduk pribumi. Kebijakan diskriminatif ini sengaja dilakukan untuk mencegah munculnya kelas menengah murni yang tidak berasal dari elite politik. Dengan alasan menghindari nepotisme dan favoritisme, Belanda lalu melarang elite politik untuk ikut dalam kegiatan dagang. Dengan demikian, elite tidak pernah memiliki kekuatan ekonomi dari politik secara bersamaan. Belanda kuatir mereka akan hadir sebagai ‘borgouise’ yang mendorong perubahan baik politik maupun ekonorni Indonesia.

Ketakutan Belanda pada borgouise class di Hindia Belanda terlihat juga pada peristiwa pembunuhan serta pembatasan lingkungan orang-orang Cina baik di Batavia maupun di tempat lain - orang Cina harus mempunyai pas jalan untuk pergi ke tempat yang bukan pecinan. Kondisi yang diciptakan Belanda ini untuk mematikan berdirinya suatu kelas menengah yang kuat. Keadaan ini semakin memperburuk situasi yang dapat memunculkan entrepreneur. Setelah selama kurang lebih dua abad rnenjalankan praktek monopoli, akhirnya pemerintah Belanda membuka Indonesia untuk berbagai pengaruh perdagangan internasional. Hal ini bersamaan dengan pertumbuhan industri di Belanda. Namun sedikit sekali - bahkan tidak ada - pengaruh perdagangan ini dirasakan oleh rakyat nusantara. Kenyataannya orientasi kebijakan membuka Hindia Belanda pada Penanaman Modal Asing (PMA) hanya demi kepentingan industri Belanda sendiri. Hindia Belanda hanya dijadikan sebagai produsen bahan mentah sekaligus pasaran hasil industri Belanda - yang kualitasnya kurang baik dibandingkan hasil industri Inggris ataupun Jerman. Ketika depresi melanda seluruh dunia, kondisi perekonomian Hindia Belanda bertambah buruk terutama karena Belanda mengenakan tarif untuk membendung politik dumping Jepang dan penggunaan gold standard monetary system yang sudah dilepas Inggris maupun Amerika Serikat. Dengan depresi ini, jatuhnya harga komoditi primer bertambah buruk karena apresiasi mata uang Belanda.

3. Periode Kemerdekaan

Dari sejarah di atas tampak bahwa di samping faktor budaya Jawa-agraris yang sangat besar pengaruhnya hingga kini, pemerintahan kolonial juga menyebabkan iklim usaha di Indonesia tidak mampu menghadirkan kelas menengah yang terpisah dari elite politik dan secara finansial mampu menopang eksistensi entrepreneur dalam perekonomian Indonesia. Walaupun demikian, kenyataan itu tidak boleh dijadikan alat justifikasi rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi kita. Setelah 63 tahun merdeka, rasanya tidak adil kalau kita tetap menyalahkan Belanda.

Setelah tahun 1950, mulailah rencana pembangunan Indonesia dicanangkan, sekaligus kebijakan-kebijakan politik yang diperlukan untuk mendukung rencana tersebut. Dari sisi sosial, sebenarnya struktur masyarakat Indonesia  tidak berubah. Pergantian peran orang-orang pribumi yang mengggantikan orang Belanda menduduki golongan atas, sementara sektor ekonomi tetap dikuasai golongan Cina.

Waktu itu, kebutuhan dana yang besar seakan menyadarkan elite politik kita bahwa mereka memang terlalu mendominasi birokrasi tanpa kekuatan ekonomi. Pengusaha pribumi yang kuat sulit ditemukan. Karena itu, disusunlah kebijakan yang bertujuan membangun kelas pengusaha pribumi yang lebih dikenal sebagai Program Benteng.

Program ini merupakan bagian integral Rencana Urgensi Perekonomian 1950-1957 untuk mendorong kelas pedagang pribumi agar mampu bersaing dengan importir asing. Pemerintah memberikan lisensi impor hanya kepada pengusaha pribumi selain membatasi impor barang tertentu. Dengan lisensi impor ini, pengusaha pribumi dapat mengimpor barang dengan kurs resmi, sehingga dengan selisih kurs dipasar gelap saat itu, pengusaha pribumi bisa memperoleh profit yang besar. Dalam pelaksanaannya terlihat bahwa orang pribumi yang menerima perlakuan istimewa ternyata bukan berasal dan kalangan yang memiliki potensi kewirausahaan melainkan dari mereka yang mempunyai hubungan dengan elite poitik. Lebih parah lagi, mereka tidak mendirikan perusahaan impor yang sesungguhnya, melainkan membeli lisensi impor dan menjualnya kepada orang-orang Cina yang memiiki sumber dana dan jaringan bisnis yang intensif. Kolaborasi ini yang disebut perusahaan-perusahan Ali Baba, dengan Ali (pengusaha pribumi) bertugas memperoleh lisensi sedangkan Baba (Cina) menyediakan modal dan keahlian usahanya. Walaupun demikian, Program Benteng tidak gagal sama sekali.

Secara konseptual sebenarnya program Benteng ini tidak berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda. Perlakuan istimewa yang diberikan pada golongan Cina oleh pemerintah kolonial Belanda (dengan memberikan kedudukan pedagang perantara) dimaksudkan untuk mencegah munculnya kelas borjuis pribumi dan mencegah persaingan antara perusahaan-perusahaan Belanda sendiri. Dengan sendirinya, program Benteng tidak akan berhasil membangun basis yang kuat bagi munculnya kelas pengusaha pribumi yang tangguh. Pada saat program ini diluncurkan, sebenarnya beberapa kalangan sudah tidak menyetujuinya. Antara lain, Mr. Sjafruddin Prawinanegara yang waktu itu menjabat Gubernur Bank Indonesia. Sjafruddin Prawiranegana menilai bahwa kebijakan diskriminatif terhadap modal asing dan modal nonpribumi tidak relevan mengingat pada saat itu, kondisi yang dihadapi adalah kelangkaan modal domestik. Bila saat itu Indonesia kelebihan modal, pengusiran modal asing dan memandulkan modal nonpribumi memang masuk akal. Analisis Sjafruddin berakhir pada kesimpulan bahwa kebijakan pembinaan diskriminatif pengusaha nasional hanya akan menghasilkan pengusaha yang tidak mandiri di samping menyebabkan korupsi di kalangan birokrasi.

Bersamaan dengan periode berkembangnya ide nasionalisme ekonomi, pemerintahan Soekarno kemudian menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing sebagai bagian dari kampanye pembebasan Irian  Barat pada tahun 1957. Dari sinilah, pihak militer memperoleh basis ekonomi yang kuat dan periode pertentangan militer dengan partai politik, akhirnya diselesaikan Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959, dimulai. Hal ini dapat dikatakan sebagai kemenangan militer atas partai-partai politik ( kecuali PKI yang justru makin kuat ). 

Setelah Orde Baru berkuasa, ada kecenderungan munculnya kesadaran elite politik untuk tidak terjebak pada pengambilan kebijakan yang bersifat diskriminatif. Meskipun demikian, aliansi militer dan kelompok borjuis menjadi semakin kuat (basis ekonomi diperoleh militer melalui nasionalisasi). Hal ini terlihat dengan munculnya pengusaha-pengusaha  yang umumnya mempunyai hubungan dekat dengan jenderal-jenderal dan tidak hanya berasal dari golongan pribumi tapi banyak yang berasal dari golongan Cina.

Pada masa reformasi sekarang ini, pemerintah mulai gencar menggiatkan upaya pengembangan kewirausahaan, baik melalui sektor pendidikan maupun sektor ril, seperti Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan koperasi. Bahkan, untuk mengembangkan sektor UMKM, didirikan suatu kementrian khusus. Kebijakan demikian patut dihargai mengingat fakta bahwa pada saat krisis moneter tahun 1997 ternyata UMKM mampu bertahan dibandingkan usaha skala besar. Dari perspektif ekonomi, UMKM merupakan basis pengembangan wirausaha di tanah air.

 

Posting Komentar untuk "Yuk Pahami Perkembangan Kewirausahaan di Indonesia!"