Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan dan Nasionalisme: Sebuah Perenungan

Untuk apa pendidikan itu diberikan kepada anak-anak bangsa? Pertanyaan itu selalu kita dengar ketika terdapat persoalan pendidikan yang melibatkan dan mengganggu perasaan keadilan masyarakat. Pendidikan, memang, merupakan hajat hidup orang banyak. Ia sangat menentukan masa depan kehidupan masyarakat. 

Pendidikan dan Nasionalisme: Sebuah Perenungan
Gambar oleh Clker-Free-Vector-Images dari Pixabay

Dahulu, pendidikan itu dipandang sebagai sesuatu yang sangat sentral. Pendidikan mendapat posisi yang penting dan strategis, karena pendidikan dilihat sebagai investasi kunci dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, mempromosikan keadilan sosial, mempercepat kemakmuran rakyat. Pendidikan juga dipandang sebagai alat efektif untuk memberantas kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat kita.

Itu sebabnya, pendidikan berkaitan langsung dengan masa depan, serta kegiatan ekonomi di dalam suatu masyarakat. Pendidikan memberikan kesempatan kepada orang untuk menperoleh ‘talenta’ yang cukup agar orang dapat masuk ke dalam dunia kerja. Agar orang dapat meningkatkan mobilitas sosialnya. Agar orang memperoleh perbaikan hidup di masa depannya. Pada akhirnya, pendidikan dianggap sebagai jalan yang paling cepat bagi seseorang untuk mendapatkan kemampuan intelektual dan keterampilan yang tinggi.

Masalahnya adalah ketika pendidikan diperlakukan sebagai ‘sesuatu yang mengganggu perasaan kolektif masyarakat’, dimana akses terhadap dunia pendidikan makin terbatas, dimana akses terhadap dunia pendidikan lebih banyak ditentukan oleh ‘seleksi’ yang di dasarkan kepada besaran meteri. Pendidikan, kemudian, tidak lagi diletakan sebagai alat atau media untuk mempromosikan diri dan menambah atau meningkatkan pengetahuan serta keterampilan, tetapi pendidikan telah dijadikan sarana ‘eksploitasi’. Dalam bahasa yang sederhana ia diletakan sebagai ‘investment for the exploitation’ dalam kehidupan masyarakat.

Keadaan itulah yang belakangan ini terjadi di dalam dunia pendidikan kita. Politik pendidikan kita, di tanah air, masih menyisakan banyak kontroversi. Politik pendidikan kita, tampaknya, belum menunjukan arah yang lebih jelas. Terdapat begitu banyak paradox kebijakan pendidikan kita. Di satu pihak, kita ingin mewujudkan pemerataan pendidikan agar semua anak-anak kita, terutama di tingkat pendidikan dasar, memperoleh tempat serta menikmati pendidikan. Tetapi, dibalik kehendak luhur tersebut juga dibuat kebijakan pendidikan yang sama sekali bertentangan dengan tujuan itu. Kasus-kasus pembayaran ‘uang sekolah’, liberalisasi penyelenggaraan pendidikan tinggi, pelaksanaan ujian nasional,  dalam bentuk apapun sebutannya mencerminkan paradox semacam itu. Kita, seringkali,  dihadapkan kepada sesuatu yang tak dapat kita selesaikan. Masyarakat diposisikan  seperti kelompok orang yang harus memakan buah simalakama. Melakukan protes terhadap banyaknya pungutan uang sekolah akan berakibat kepada ‘tidak amannya’ anak-anak mereka yang bersekolah di lembaga itu. Jika masyarakat tidak melakukan protes, kebijakan  pungutan biaya sekolah yang dibebankan kepada masyarakat akan ‘mencekik leher’ kemampuan. Kita kemudian, selalu dihadapkan kepada pertanyaan: untuk apa pendidikan itu diselenggarakan oleh pemerintah? Apakah pendidikan itu dilaksanakan untuk mencerdaskan bangsa, mendidikan masyarakat agar dapat hidup lebih beradab? Apakah penyelenggaraan pendidikan itu dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan masyarakat, mempromosikan keadilan dan demokrasi, meningkatkan nilai tambah individu sehingga mereka dapat hidup lebih ‘sejahtera’?  Atau pendidikan itu dilakukan hanya sekedar untuk memenuhi hasrat sebagian kelompok orang agar dapat menguasi sumber-sumber ekonomi !.

Di banyak negara, politik pendidikan diambil dengan begitu ‘canggih’. Pendidikan tidak hanya ditujukan sebagai ‘intervensi’ yang paling cepat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat. Pendidikan juga diletakan sebagai media penting yang memberi kontribusi signifikan terhadap pembangunan peradaban, demokrasi. Pendidikan dipahami sebagai landasan yang kukuh bagi berkembangnya sikap-sikap demokratis, egaliter, transparan, akuntabel. Itu sebabnya, terdapat ikatan yang kuat antara pendidikan dan demokrasi, pendidikan dengan berkembangnya nilai-nilai nasionalisme, berkembangnya keinginan luhur untuk memberdayakan masyarakat yang kurang mampu. Ikatan-ikatan itu kemudian muncul dalam bentuk  seperti terbangunnya pemahaman demokrasi yang lebih baik, meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup berkeadaban. Dengan demikian, demokrasi, tranparansi, egalitarianisme bukan saja berguna bagi pemerintahan, tetapi demokrasi, transparansi, sikap egaliter itu juga sangat penting di dalam pergaulan hidup masyarakat, apalagi masyarakat kita dibangun atas dasar pluralisme.

Latar belakang kehidupan di dalam masyarakat yang bersifat sangat plural, jamak,  baik secara etnis, agama, status sosial, gender, maupun kemampuan, mempersyaratkan terbangunnya sikap toleransi, terbuka, solider dan sebagainya. Pendidikan dapat berperan aktif di dalam membangun kesadaran seperti ini, bukan malah ‘memperkeruhnya’ dengan meletakan pendidikan di dalam konteks industri. Politik pendidikan semacam itu akan mengubah drastis seting kegiatan pendidikan kita, dari semula pendidikan itu ditujukan bagi semua warga negara, kemudian diubah menjadi tidak semua warga negara dapat mempunyai akses terhadap pendidikan, kecuali mereka yang mampu membayar.

Masalahnya kemudian, mengapa kebijakan pendidikan kita seringkali tidak terlalu klop dengan cita-cita dasar kita sebagai negara kesatuan Republik Indonesia yang demokratis ? Mengapa politik pendidikan kita tampak kurang relevan dengan ‘keinginan luhur’ membangun kehidupan bangsa yang cerdas? Mengapa politik pendidikan kita kurang bisa menopang besarnya hasrat masyarakat kita untuk bisa hidup dan menjadi makmur sejahtera, dengan mempraktekan keadilan sosial bagi seluruh rakyat? Mengapa kebijakan pendidikan kita mudah dirasuki oleh ‘nafsu besar’ untuk memposisikan lembaga pendidikan sebagai institusi yang  bisa mencari ‘sisa lebih’? Di mana letak nasionalisme kita sekarang ini? Nasionalisme yang memperhatikan pembangunan ‘kehidupan masyarakat yang cerdas’.

Pendidikan tampaknya sudah menjadi permainan politik elite. Oleh karena itu, sudah saatnya kita membuat konsensus baru bahwa politik pendidikan tidak bisa lagi hanya ditentukan oleh segelitir orang yang bergerak di dalam spektrum permainan politik semata. Tetapi, konsensus baru yang meletakan bahwa politik pendidikan harus dirumuskan, ditentukan bersama antara pemerintah, masyarakat sipil, masyarakat akademik, para stakeholder, sehingga politik pendidikan itu mampu memberikan ‘jaminan yang lebih pasti’ terhadap peningkatan kapasistas masyarakat. Politik pembangunan harus diarahkan untuk ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Politik pendidikan harus bisa menjadi salah satu kunci pembuka terhadap ‘masa depan kesejahteraan ekonomi masyarakat’.

Mungkin, ada baiknya, bila konsensus baru itu dibuat atas beberapa landasan gagasan, yang bisa kita mulai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan problematik seperti ini: Apakah konsensus baru penetapan politik pendidikan akan kita lakukan di atas gagasan antisipasi terhadap peningkatan ekonomi global, liberalisme atau neo-liberalisme? Apakah konsensus itu akan kita putuskan untuk mengimplementasikan gagasan negara integralistik dan kesejahteraan yang dianut oleh negara kita, sesuai dengan pesan konstitusi kita? Apakah konsensus baru politik pendidikan kita akan kita tentukan hanya sekedar untuk menghadapi ‘economic competition’? Apakah konsensus itu kita rumuskan karena terdapat desakan kuat untuk meningkatkan kemampuan, kualitas pendidikan kita sesuai dengan standar internasional? Apakah konsensus baru politik pendidikan kita akan dibangun atas dasar nasionalisme kita sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, serta berkeadilan sosial? Lantas, di mana nasionalisme kita, sebagai bangsa berdaulat, akan kita letakan? Di mana posisi Negara Kesatuan Republik Indonesia itu akan kita dudukan di dalam konsensus baru politik pendidikan kita? Mari kita bangun konsensus baru politik pendidikan kita untuk menyongsong masa depan kita bersama. Tanpa konsensus baru akan selalu muncul pertanyaan: Kemana arah politik pendidikan kita sekarang ini? Cobalah pikir-pikir!!

Seri Tulisan Gagasan & Pemikiran Muchlis R. Luddin (1960 – 2021) 

 

Posting Komentar untuk "Pendidikan dan Nasionalisme: Sebuah Perenungan"