Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Peran Pemimpin: Mengembangkan Kultur Kualitas

Sebelumnya saya telah menguraikan berbagai hal yang berkaitan dengan ‘minimum requirement’ yang harus dimiliki oleh seorang jika hendak memimpin sebuah universitas. Apalagi perubahan global mempersyaratkan adanya budaya kompetisi sebagai sebuah konsekuensi logis dari terintegrasinya pasar pendidikan kita kedalam pasar internasional atau ‘free market in education’. 

Peran Pemimpin: Mengembangkan Kultur Kualitas
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Pemimpin yang sudah berpengalaman dan memiliki jam terbang yang memadai, tentu saja, akan mengembangkan kepemimpinan yang bersifat inspirasional dan visioner. Ia memiliki jangkauan jauh kedepan, dapat memetakan kecenderungan arus perubahan yang telah dan akan terjadi, yang mau tak mau akan dihadapi oleh lembaga yang dibinanya. Oleh karena itu, mengkomunikasikan visi—seperti yang telah saya uraian di atas—menjadi salah satu ‘kunci pembuka pintu’ untuk mempercepat pelaksanaan program pendidikan yang diturunkan dari visi dan misi universitas.

Kemampuan mengkomunikasikan visi dan misi harus didahului oleh kebersediaan seorang pemimpin untuk mengubah ‘mind set’, cara berpikir, cara melihat sesuatu, cara memandang persoalan. Perubahan ‘mind set’ akan mengubah cara berperan, cara berprilaku, cara bertindak, cara merumuskan, cara menetapkan kebijakan. Perubahan cara berpikir misalnya akan mengubah persepsi seorang pemimpin terhadap mental kepemimpinannya dari kepemimpinan yang memandang posisi jabatan sebagai “I am in Charge” kepada seorang manajer yang selalu ingin mendorong, mensuport dan memimpin staf, leader of front-line staff. Dengan demikian, peran seorang pemimpin berubah. Fungsi kepemimpinan universitas menjadi aktivitas yang  memperkuat kualitas proses belajar mengajar dan mendorong, memberi suppor atau dukungan kepada semua staf untuk bekerja agar target peningkatan mutu atau kualitas itu terjadi. Di sini, inisiatif dan kreatifitas menjadi sangat penting. Cara-cara kepemimpinan tradisional (seperti mementingkan status, posisi, hierarki jabatan, penghormatan semu) menjadi tidak penting.  

Peranan pemimpin universitas yang utama adalah mengembangkan kultur kualitas. Karena dengan kultur kualitas yang berkembang, tingkat kekompetitifan warga universitas dipacu untuk terus berkembang dan meningkat. Kultur kualitas menjadi salah satu plaza yang menjadi  landasan kuat untuk mendorong warga universitas agar dapat mengikuti kompetisi di dalam pasar pendidikan. Pertanyaannya sekarang fungsi apa saja yang seyogyanya dimiliki oleh seorang pemimpin universitas agar ia dapat berperan sebagai agen pengembang kultur kualitas?

Pertanyaan di atas tidak mudah untuk dijawab. Tetapi, menurut hemat saya, terdapat sejumlah fungsi yang dapat dikembangkan atau diperankan oleh seorang pemimpim universitas dalam mendorong pengembangan kultur kualitas. Beberapa fungsi itu adalah : Pertama, pemimpin universitas harus menjadikan dirinya sebagai ‘a vision for the institution’. Ia harus menguasai—luar- dalam, eksplisit- implisit—tentng visi dan misi lembaga yang dipimpinnya. Dalam arti ini, seorang pimpinan universitas adalah orang yang harus paling memahami, mengerti roh yang paling dalam yang berkaitan dengan bermacam-macam pesan, misi, yang termaktub di dalam visi lembaga yang telah dirumuskan bersama. Itu sebabnya, pemimpin universitas harus dapat menjelma menjadi penerjemah utama dari visi lembaga, baik secara ideologis maupun secara praksis.

Kedua, pemimpin universitas harus memiliki ‘a clear commitment’ terhadap peningkatan mutu setiap warga universitas serta mutu lembaga ( mutu dosen, mutu staf administrasi, mutu proses belajar mengajar, mutu sarana dan prasarana). Komitmen yang jelas, terang adalah modal utama untuk peningkatan kualitas.

Ketiga, pemimpin universitas juga sangat dituntut mempunyai kemampuan dan keterampilan yang cukup di dalam berkomuniksasi, mengembangkan komunikasi, melaksanakan interaksi dengan kualitas pesan yang jelas, terang. Adalah suatu tragedi apabila seorang pimpinan universitas tidak mempunyai kemampuan yang dipersyaratkan seperti di atas. Bisa jadi banyak hal yang terjadi di lingkungsn universitas, yang tidak dipahami oleh stakeholder atau oleh warga universitas, disebabkan mutu pesan yang disampaikan sangat tidak memadai. Kemampuan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan dengan kualitas yang baik menjadi salah satu prasyarat baik buruknya suatu kepemimpinan universitas.

Keempat, pimpinan universitas harus berperan sebagai ‘leading staff development’. Banyak masalah timbul di dalam manajemen universitas karena pimpinan universitas alergi dengan pengembangan staf. Pimpinan universitas, terutama pada universitas-universitas yang berada pada posisi lapis kedua atau ketiga di dalam pemetaan lembaga perguruan tinggi, seringkali tidak mempunyai kesadaran yang cukup untuk pengembangan staf. Oleh sebab itu, kita sering sekali menyaksikan bahwa banyak kebijakan yang telah ditetapkan tetapi tidak dapat dijalankan oleh staf di lapangan, karena staf yang menjalankan itu tidak memahami pesan yang terkandung di dalam kebijakan itu. Bahkan acapkali kebijakan salah diinterpretasikan oleh staf.

Kelima, pimpinan universitas harus memprakarsai apa yang saya sebut sebagai ‘ a no blame culture’. Banyak sekali respon yang diberikan oleh warga universitas terhadap suatu kebijakan dengan perasaan yang tidak puas. Warga universitas merasa ‘tidak memiliki’ kebijakan itu, walaupun kadang kala mereka turut terlibat di dalam proses pengambilan kebijakan tersebut. Budaya protes, tidak puas ketika suatu keputusan telah ditetapkan, seringkali menjadi sesuatu yang naïf terjadi di lembaga universitas yang menjunjung tinggi rasionalitas, perdebatan akademik dan pencarian kebenaran. Pimpinan universitas harus menghentikan ‘a blame culture’ seperti itu. Kembalikan budaya kolegial, budaya akademik, dengan landasan rasionalitas, sehingga setiap kebijakan tidak dimentahkan oleh orang-orang yang sesungguhnya tidak memiliki ‘otoritas’ di wilayah itu. Pimpinan universitas harus mempertegas pembagian fungsi dan peran pada semua elemen pengambil keputusan. Distribusi tanggung jawab menjadi signifikan.

Keenam, pimpinan universits harus dapat membangun suatu tim kerja yang efektif. Tim kerja yang dapat menjadi ‘mesin’ penggerak organisasi. Tim kerja yang dapat menterjemahkan visi dan misi universitas ke dalam kegiatan nyata, sehingga visi dan misi itu “dapat bekerja”.  Tim kerja yang mampu mngimplementasikan kebijakan pendidikan ke dalam bentuk kegiatan nyata.

Ketujuh, pimpinan universitas harus ‘melakukan pertemua-pertemuan regular’ dengan pelanggan agar mereka tahu apa yang dibutuhkan oleh pelanggan. Agar mereka tahu apa yang menjadi tuntutan kualitas dari para pelanggan. Agar mereka paham akan kebutuhan-kebutuhan pelanggan. Agar mereka tahu perubahan-perubahan kebutuhan para pelanggan mereka. Para pimpinan universitas harus menemukan apa yang dibutuhkan oleh pelanggan itu.

Kedelapan, pimpinan universitas juga harus berfungsi sebagai orang yang dapat memimpin kerja-kerja inovatif. Ia harus dapat bertindak dan membuat kebijakan yang bersumber pada karya-karya inovatif. Oleh sebab itu, untuk dapat melakukan inovasi, memimpin inovasi, para pimpinan universitas harus dibekali pemahaman bahwa setiap regulasi, pengaturan, aturan main bukan sesuatu yang bersifat final. Regulasi dapat disesuaikan seirama perkembangan zaman. Regulasi dapat dimodifikasi sehingga ia bisa menunjang implementasi kebijakan. Aturan main dapat diperbaiki. Aturan main bukan sesuatu yang final dan ‘given’. Aturan main dapat ‘diinovasikan’. Caranya adalah dengan menilai kembali semua regulasi yang ada. Pimpinan universitas harus bersedia memetakan semua regulasi dalam bingkai “first, break all the rules”, kemudian, setelah itu menyusun kembali regulasi itu berdasarkan kepentingan masa depan organisasi. Regulasi pada galibnya bukan untuk mengikat kinerja kerja organisasi universitas. Regulasi pada dasarnya dibangun untuk mempermudah cara kerja, memastikan presisi kerja, memastikan nilai baik dan nilai buruk dari keseluruhan organisasi universitas, sehingga ia dapat bergerak, menderu, sebagai mesin perubahan lembaga untuk mencapai visi masa depan.

Kesembilan, pimpinan universitas harus dapat berperan sebagai orang yang mampu mengembangkan keterampilan di dalam resolusi konflik, pemecahan masalah serta mengembangkan mediasi atau negosiasi. Keterampilan mediasi untuk menyelesaikan konflik menjadi sangat penting agar sikap-sikap toleran dapat lebih mengemuka ketimbang konflik atau polemik yang seringkali tak begitu jelas manfaatnya.

Seri Tulisan Gagasan & Pemikiran Muchlis R. Luddin (1960 – 2021)

 

Posting Komentar untuk "Peran Pemimpin: Mengembangkan Kultur Kualitas"