Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Potret Universitas Di Era Perubahan

Hampir satu dekade ini masalah pengelolaan perguruan tinggi mengalami perubahan. Perubahan itu tidak saja sebagai akibat logis dari perubahan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, tetapi juga disebabkan begitu banyaknya ‘tekanan-tekanan’ yang dihadapi oleh lembaga universitas.

Mengelola Universitas Di Era Perubahan
Gambar oleh robtowne0 dari Pixabay

Jika kita kembali menelusuri sejarah perkembangan universitas, kita telah memahami bahwa banyak universitas yang ada sekarang ini—dahulu—didirikan oleh lembaga-lembaga sosial. Bahkan pada abad pertengahan, pada awalnya, kebanyakan universitas didirikan oleh lembaga-lembaga gereja. Baru kemudian, setelah zaman pencerahan, lembaga universitas banyak didirikan oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat atau yang sering kita sebut sebagai ‘civic government’. Pada zaman modern seperti sekarang ini, universitas didirikan dan dikembangkan oleh perusahaan atau korporasi. Itu sebabnya, dunia pendidikan tinggi mengalami perubahan yang amat dramatis. Pertanyaannya kemudian, apa yang sesungguhnya yang kita sebut sebagai universitas itu sekarang ini?

Pertanyaan seperti di atas muncul ke permukaan karena di banyak belahan negara, universitas-universitas mengalami ‘metamorposis'. Sistem penyelenggaraan universitas berubah. Sistem rekrutmen berubah. Sistem layanan terhadap mahasiswa berubah. Sistem pendidikan, proses belajar mengajar juga berubah. Sistem administrasi juga berubah. Sistem teknologi yang digunakan juga berubah. Dengan kata lain, tiada hal yang tidak mengalami perubahan. Semua komponen yang ada dan terlibat di dalam “universitas” berubah, seolah-olah lembaga universitas menjadi ‘baru’ sama sekali.

Kita kemudian berkenalan dengan apa yang disebut “Macdonald University”, “Humberger University”, “Corporate University”, “Research University”, “Entrepreneurial University”, “Colaborative University”, “Global University”, “Multimedia University”, dan sebagainya. Dilain pihak kita juga menyaksikan munculnya kampus-kampus baru yang berbasis ‘franchising’ atau ‘kerjasama’. Kampus-kampus baru didirikan oleh universitas luar negeri di negara kita. Cabang-cabang universitas menjadi tumbuh sebanding dengan kecepatan tumbuhnya pasar pendidikan. Maka kemudian kita mengenal juga kampus kota (city campus) dan kampus daerah. Kita juga merasakan kampus pusat dan kampus ‘cabang’.

Keadaan dan situasi di atas menyadarkan kita semua bahwa saat ini tidak ada yang disebut (bentuk universitas yang seragam. Dalam bahasa yang lebih tegas dapat saya nyatakan bahwa ‘there is no blueprint of the university’. Universitas-universitas selalu melakukan penyesuaian diri di dalam merespon permintaan (pasar) masyarakat. Dengan demikian, terdapat kecenderungan banyak orang, para ahli bahkan warga universitas, yang tak tahu lagi universitas itu sebenarnya lembaga semacam apa? Lembaga apa universitas itu persisnya? Apakah ia lembaga pendidikan? Apakah ia lembaga pendidikan sekaligus lembaga korporasi? Apakah ia lembaga korporasi? Atau ia lembaga industri yang memproduksi berbagai “barang” (outcome) yang akan ditawarkan kepada masyarakat? Apakah universitas juga sebagai ‘toko kelontong’ yang menyediakan beragam kebutuhan masyarakat? Atau universitas itu lembaga eksklusif yang dihuni oleh sekelompok elite masyarakat? Atau universitas itu lembaga plural yang menyediakan tempat bagi setiap orang untuk ‘menghuninya’?.

Menurut hemat saya, situasi sedemikian itu menyebabkan lembaga-lembaga universitas kita—mungkin tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dialami oleh lembaga-lembaga universitas di negara lain—mengalami dan berada di dalam situasi tertekan. Universitas kita ada di dalam ‘pressure’. Pertanyaannya adalah mengapa lembaga universitas kita berada di dalam tekanan? Saya melihat ada beberapa hal yang mengakibatkan lembaga universitas kita berada di dalam tekanan.

Pertama, seringkali kita—sebagai pengelola universitas—kurang memahami secara tuntas prinsip-prinsip lembaga universitas. Lembaga universitas bukan lembaga biasa. Ia juga bukan lembaga dagang. Lembaga universitas adalah lembaga pendidikan, peradaban. Itu sebabnya, keteledoran kita di dalam memahami prinsip-prinsip universitas akan mengubah wajah universitas dari lembaga yang menjaga dan mengembangkan peradaban manusia, menjadi lembaga-lembaga praktis yang ingin memenuhi kebutuhan praxis masyarakat.

Kedua, situasi yang berkembang diluar lembaga universitas menuntut berbagai hal. Ada perubahan tuntutan masyarakat karena masyarakat dihadapkan kepada situasi dimana dirinya harus dapat bergaul dan masuk dalam perubahan itu. Sebagian masyarakat kita sekarang ini mulai berada di dalam ‘knowledge based society’, yang mengakibatkan bahwa lembaga universitas yang dikelola secara tradisional (seperti sekarang ini) sudah dianggap ‘out of date’, tidak laku, bahkan ditinggalkan orang. Dengan demikian terjadi tekanan-tekanan yang luar biasa kuat kepada lembaga-lembaga universitas kita.

Antisipasi terhadap tekanan-tekanan seperti itu diupayakan oleh universitas. Kemudian, universitas mencoba melakukan adaptasi atau bahkan integrasi dengan tuntutan pasar pendidikan. Banyak universitas mulai tertarik untuk membenahi diri dihampir semua sektor yang ada di dalam lembaga itu. Kualitas mulai dibenahi, baik yang manyangkut tenaga pengajar, tenaga staf dukungan. Kualifikasi ditingkatkan. Profesionalisme menjadi wacana menarik dan berkembang di kalangan anggota civitas akademika. Infrastruktur juga mendapat perhatian yang cukup besar. Sarana dan prasarana pendidikan tidak dapat lagi diabaikan begitu saja, karena ia akan menopang peningkatan mutu di dalam proses belajar mengajar. Laboratorium diperbaiki, bahkan dinaikan statusnya dari ‘teaching lab’ menjadi ‘research lab’. Perpustakan disempurnakan. Pembiayaan pendidikan menjadi diskursus utama para pengelola universitas. Koleksi buku dan jurnal dilengkapai dengan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir. Cara interaksi antara tenaga pengajar juga harus diperbaiki dari cara pendidikan gaya bank kepada pendidikan yang partisipatoris-kritis. Dari interaksi yang bersifat patron-client kepada interaksi kolegial, subyek-subyek. Interaksi yang bersifat dialogis.

Pengelolaan universitas juga mengalami penyesuaian yang tadinya hanya mengelola mahasiswa yang datang ke lembaga itu, sekarang harus berganti dengan sistem pengelolaan yang bersifat ‘market oriented’. Universitas memasarkan lembaganya melalui iklan diberbagai media elektronik, media massa dengan menjanjikan bermacam-macam insentif. 

Demikian juga kiranya dengan kepemimpinan di dalam sebuah universitas. Ada tuntutan-tuntutan baru terhadap model, gaya, bentuk kepemimpinan yang sama sekali berbeda dengan apa yang telah atau sedang dipraktikan sekarang ini. Kepemimpinan universitas menjadi salah satu kunci pokok yang akan menentukan  berhasil atau tidaknya sebuah universitas melakukan perubahan untuk mengantisipasi tuntutan pasar pendidikan.

Seri Tulisan Gagasan & Pemikiran Muchlis R. Luddin (1960 – 2021)

 

Posting Komentar untuk "Potret Universitas Di Era Perubahan"