Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Globalisasi dan Kompetisi ‘pasar’ pendidikan

Gugatan menarik dapat kita ajukan sekarang ini. Mengapa globalisasi itu terus menerus memaksa kita untuk melakukan kompetisi? Mengapa globalisasi itu mendorong aktivitas pendidikan menjadi aktivitas korporasi? Mengapa demokratisasi pendidikan itu, diletakan, seolah-olah, lebih ditentukan oleh kompetisi pasar bebas? 

Globalisasi dan Kompetisi ‘pasar’ pendidikan
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Gugatan semacam itu sebagai tanda bahwa kegalauan kita menghadapi globalisasi seperti yang digambarkan di atas tidak hanya boleh berhenti pada situasi menerima dengan keterpaksaan, tetapi kegalauan itu seharusnya dapat kita sikapi dengan memetakan secara sadar apa yang menjadi kehendak tak terhindarkan dari globalisasi.

Menurut pandangan saya, umumnya globalisasi menghendaki: (1) bahwa semua aktivitas orang berada di dalam sistem dunia (world system). Oleh karena itu, setiap tindakan, kebijakan dan aktivitas orang selalu diintegrasikan dengan tuntutan ‘harus berada di dalam sistem dunia’ tersebut. Itulah sebabnya, globalisasi merupakan kekuatan yang bersifat hegemonik, imperialistik, kolonialistik, dimana setiap aktivitas dipandang sebagai bagian dari kegiatan yang berada di dalam skala internasional atau global. (2) Bahwa kegiatan-kegiatan umat manusia dapat dilakukan melalui cara-cara korporasi multinasional. Karena, aktivitas model korporasi multinasional itu menjadi ikon dan memainkan peranan penting di dalam proses globalisasi modern. Aktivitas pendidikan dilaksanakan dalam kerangka skala internasional, karena aktivitas pendidikan itu memberi kontribusi signifikan terhadap kemajuan dunia melalui perluasan pengaruh kultural, diseminasi pengetahuan dan pengertian, termasuk di dalamnya sains dan teknologi.

Kompetisi pasar pendidikan memperoleh kedudukan yang sangat penting. Perhatian dan pengenalan terhadap tuntutan pasar menjadi tak terhindarkan. Sekarang ini kita sedang memasuki era ‘global knowledge wars’, yang mendasari diri pada prinsip-prinsip ‘survival of the fittest’. Dunia pendidikan kita harus turut serta dalam kompetisi terbuka dengan landasan seperti tersebut di atas. Kalau tidak, maka lembaga-lembaga pendidikan kita akan ‘dimakan habis’ oleh arus kolonialisme baru dalam bungkus yang lebih modern, canggih.

Pilihan untuk memasuki kompetisi pasar semacam itu sangatlah terbatas. Bahkan pilihan-pilihan yang telah tersediapun sudah masuk dalam kategori genggaman hegemonic nilai-nilai global seperti adanya standar yang sama (baca: internasional) dalam penyelenggaraan pendidikan, dalam kualitas hasil pendidikan, dalam ‘standing academic’. Akibat logis dari kompetisi pasar pendidikan ini, dunia pendidikan menjadi ‘going business’. Semua aktivitas produksi pendidikan harus dapat dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis, karena pendidikan diletakan sebagai sebuah investasi yang akan menghasilkan ‘an economic return’ bagi setiap orang yang menggunakan jasa pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidup dirinya.

Dalam suasana kompetisi pasar seperti diuraikan terdahulu, pendidikan tidak ditujukan lagi sebagai medium penting untuk mengatasi polarisasi dalam masyarakat. Bahkan polarisasi, dan mungkin juga segmentasi di dalam masyarakat, dapat dibentuk, dihasilkan oleh lembaga pendidikan. Munculnya sekolah-sekolah unggulan, pavorit, sekolah berstandarkan internasional, sekolah internasional, secara tidak langsung membangun segmentasi dan polarisasi di dalam masyarakat. Sekolah-sekolah semacam itu, hanya dapat dimasuki oleh mereka yang datang dari golongan mampu secara sosial dan ekonomi. Mereka yang berasal dari golongan masyarakat kurang mampu, miskin, baik secara social dan ekonomi, memiliki kesempatan yang tipis untuk bisa mengikuti kompetisi pasar bebas semacam di atas. Mereka harus rela tidak dapat masuk kepada jenis sekolah unggul, sekolah internasional seperti diatas, karena mereka tidak dapat memenuhi syarat kompetitif yang ditentukan oleh kebijakan korporasi.

Secara hipotetik, saya menduga, bahwa kompetisi pasar bebas yang dilaksanakan di dalam dunia pendidikan kita, bisa menimbulkan munculnya lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis pada polarisasi stratifikasi, terutama berkaitan dengan terbentuknya bangunan kelas-kelas sosial baru yang didasarkan kepada ‘siapa yang mampu membayar biaya pendidikan (seperti sekolah orang kaya, sekolah orang ningrat, sekolah orang elite , sekolah orang miskin, sekolah orang kota, sekolah orang desa, dan sebagainya); terbentuknya lembaga-lembaga pendidikan yang didasarkan pada etnisitas (seperti sekolah China, sekolah India, sekolah orang kulit putih, sekolah orang Melayu, dan sebagainya); terbentuknya lembaga-lembaga pendidikan yang di dasarkan kepada keyakinan keagamaan (seperti sekolah Islam, sekolah Katolik, sekolah Kristen, sekolah Budha, sekolah Hindu).

Jika hipotetis di atas dapat menjadi ukuran kecenderungan setiap aktivitas pendidikan di era globalisasi sekarang ini, pertanyaannya adalah mengapa demokratisasi pendidikan yang kita dengungkan itu belum dapat mengerem polarisasi stratifikasi seperti di atas? Pertanyaan ini, sungguh bukan sesuatu yang dapat dijawab dengan mudah. Sebab, jika demokratisasi itu diidentikan dengan kompetisi bebas di dalam pasar bebas, sementara kondisi dan situasi pendidikan kita masih tertinggal, maka yang kemudian terjadi adalah bahwa kompetisi lewat demokratisasi itu akan berubah menjadi kegiatan kolonialisme baru dunia pendidikan kita oleh kekuatan-kekuatan hegemonik pendidikan yang datang dari luar. Sementara, dunia pendidikan kita akan mengalami kekalahan total dalam arus kompetisi pasar bebas pendidikan seperti itu. Tragisnya, kebijakan politik pendidikan kita mengikuti arus kompetisi pasar bebas seperti itu, tanpa memberi perhatian yang lebih seimbang terhadap preferensi nasional kita sebagai negara yang berazaskan pancasila, sebagai negara yang mencita-citakan terbangunnya masyarakat yang cerdas, sejahtera dan berkeadilan sosial. 

Seri Tulisan Gagasan & Pemikiran Muchlis R. Luddin (1960 – 2021) 

Posting Komentar untuk "Globalisasi dan Kompetisi ‘pasar’ pendidikan"