Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mampukah 4 Tahun Studi Meningkatkan Kualitas SMK?

Oleh: Dwi Septian Wicaksono*

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan suatu tempat pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan, yaitu pendidikan menengah menyiapkan peserta didik untuk bekerja pada suatu bidang. Dengan kata lain SMK difokuskan untuk siap kerja. Namun apakah demikian? Dilansir dari Liputan6.com, pada tingkat pendidikan, tingkat pengangguran terbuka lulusan Sekolah Menengah Kejuruan masih yang paling tinggi di antara tingkat pendidikan lainnya, yaitu sebesar 8,49%. Artinya tidak sesuai dengan tujuan SMK untuk menyiapkan peserta didik yang siap untuk bekerja, melainkan menyiapkan peserta didik untuk siap menganggur. 

Mampukah 4 Tahun Studi Meningkatkan Kualitas SMK?

Beberapa bulan yang lalu tepatnya pada tanggal 10 Juni 2020, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud Wikan Sakarinto menyampaikan bahwa Kemendikbud mempunyai rencana agar mengubah lama studi Sekolah Menengah Kejuruan dari tiga tahun menjadi empat tahun bagi peserta didiknya, yang nantinya setiap peserta didik yang lulus akan setara dengan diploma 1 (D-1) atau diploma 2 (D-2). Sebelum membahas lebih lanjut tentang hal tersebut, mari kita bahas seputar SMK.

Umumnya, banyak peserta didik setelah lulus SMP akan memilih prioritas untuk melanjutkan studinya ke SMA terutama SMA negeri, karena sudah bukan rahasia umum dalam masyarakat, SMA lebih dipandang daripada SMK. Banyak alasan yang mendasari hal tersebut, seperti SMA mempunyai peluang lebih besar untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri, tokoh-tokoh besar berlatar pendidikan SMA, siswa SMK sering dipandang sebagai pelajar yang nakal, dan sebagainya. Asumsi-asumsi tersebut membuat banyak pelajar yang gagal masuk SMA negeri terpaksa memilih SMA swasta atau SMK baik negeri atau swasta, mereka yang terpaksa memilih SMK kerap kali dibingungkan dengan jurusan yang akan dipilih karena terdapat banyak jurusan di berbagai SMK. Akhirnya mereka secara asal memilih jurusan yang hanya sekadar tahu tentang jurusan tersebut, sedangkan sekolah kejuruan diperuntukkan bagi siswa yang ingin mengembangkan minat dan bakatnya pada bidang tertentu. Hal tersebut berdampak pada kondisi pembelajaran siswa ke depannya, ada yang bisa menyesuaikan, ada juga yang masih dibayangi kegagalan masuk SMA dan tidak mengerti tujuan masuk SMK.

Tidak sedikit pula siswa yang benar-benar mempunyai niat untuk melanjutkan studi ke SMK, biasanya mereka ingin mendalami bakat di bidang tertentu seperti akuntansi, teknik mesin, keperawatan, pariwisata, seni, teknologi informasi, dan lainnya. Alasan lainnya adalah katanya SMK mudah mencari kerja karena dibekali ilmu praktikum. Meski berbasis kejuruan, bekal ilmu yang didapat oleh siswa SMK dinilai masih bersifat umum sehingga tidak terlalu berguna saat terjun ke dunia kerja, dengan persepsi tersebut tentunya memunculkan pikiran tidak perlu masuk SMK untuk mempelajari suatu bidang lebih dalam karena ilmu yang bersifat umum bisa didapat dari berbagai sumber. Namun persepsi tersebut tidak berlaku untuk jurusan yang benar-benar memerlukan skill khusus seperti teknik mesin, farmasi, analisis kimia, agribisnis, dan lainnya.

Kembali ke topik utama tentang rencana Kemendikbud untuk menerapkan masa studi 4 tahun di semua SMK. 4 tahun masa studi dirincikan dengan 3 tahun masa belajar 1 tahun praktik kerja industri, berbeda dengan SMK dengan 3 tahun masa studi, di mana prakerin dilaksanakan di tahun ke-2 atau ke-3. SMK 4 tahun sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru, SMK di sejumlah daerah telah menerapkan program ini sejak lama. Tujuan dari program ini tidak lain untuk mematangkan kemampuan siswa lulusan SMK agar bisa bersaing di dunia kerja. Salah satu rencana strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi yang menurut saya ditujukan untuk mendukung program ini adalah pada tahun 2020-2024 akan dilaksanakan program berupa Fasilitasi Pengembangan Pusat Keunggulan (Center of Excellence) di SMK, yang dalam penerapannya diharapkan bisa membantu memperkuat tata kelola pembelajaran sekolah berbasis industri, peningkatan kualitas dan mutu guru, dalam hal sarana dan prasarana, penerapan pembelajaran industri, sertifikasi, dan budaya. Rencana tersebut juga membagi 4 bidang prioritas, yaitu: lokal mesin dan konstruksi, ekonomi kreatif, keperawatan, dan perhotelan. Keempat bidang tersebut diprioritaskan atas dasar kebutuhan dan tren perkembangan dunia kerja, sehingga lulusan SMK dapat tersalurkan sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Rencana-rencana tersebut mungkin bisa menjawab permasalahan-permasalahan di SMK seperti berikut ini:

Pertama, kualitas dan mutu guru. Dalam peningkatan kualitas dan mutu guru, bisa dilakukan dengan cara seminar pelatihan, Uji Kompetensi Guru (UKG), uji sertifikasi guru, dan sejenisnya. Namun, hal ini harus dilaksanakan atas kesadaran guru tersebut untuk mengembangkan kemampuannya dalam melakukan pengajaran terhadap siswa, bukan secara terpaksa. Banyak guru yang berusaha menghindari pelatihan-pelatihan terutama pelatihan pembelajaran dengan menggunakan teknologi dengan dalil terlalu capai untuk mengikuti berbagai pelatihan atau sulit menyerap ilmu yang diberikan mengingat usia yang sudah lanjut. Dampaknya akan dirasakan oleh guru itu sendiri dan peserta didiknya, guru yang tidak berkompeten akan sulit menyesuaikan perkembangan zaman dan menghasilkan peserta didik yang tidak kompeten. Karena hal tersebut, tujuan SMK untuk menghasilkan lulusan yang kompeten di suatu bidang akan terhambat.

Kedua, ketersediaan sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana tak luput dalam melancarkan program 4 tahun SMK ini, kedua komponen ini harus bersatu padu, percuma saja jika ada tempat untuk praktik, tapi di dalam tempat tersebut kekurangan alat yang memadai untuk melaksanakan praktek, misalkan di suatu SMK terdapat laboratorium komputer untuk jurusan administrasi perkantoran, tetapi tidak ada alat penunjang lain selain komputer seperti baki surat, printer, alat tulis kantor yang lengkap, telepon. Banyak materi yang dipelajari akhirnya tidak bisa dipraktikan langsung di sekolah, mereka mungkin bisa mempraktikannya di tempat prakerin, tapi seharusnya tempat prakerin menjadi tempat untuk memantapkan skill yang telah dipelajari di sekolah.

Ketiga, sertifikasi sebagai pengakuan kompetensi siswa. Sertifikat yang diperoleh siswa selama prakerin nyatanya belum cukup untuk membuktikan siswa tersebut sudah ahli dalam bidangnya. Oleh karena itu, uji kompetensi yang terakreditasi dan tersertifikasi diperlukan sebagai penjamin kompetensi siswa SMK dalam melamar pekerjaan. Dalam hal ini pemerintah harus memudahkan akses untuk mengikuti uji sertifikasi bagi SMK. Dasar hukum uji sertifikasi adalah Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan.

Keempat, penyesuaian kurikulum. Kurikulum di SMK seharusnya disusun sesuai kenyataan yang dibutuhkan untuk bekerja, metode dalam proses pembelajaran juga disesuaikan dengan kondisi seperti bekerja, dan menghasilkan nilai output yang diharapkan sesuai dengan tuntutan perkembangan dunia usaha dan dunia industrri.

Sebagai individu yang pernah menempuh studi di SMK, saya selaku penulis tentu pernah dihadapi berbagai permasalahan seperti di atas. Ketika beberapa permasalahan tersebut bisa diselesaikan dengan realisasi program 4 tahun studi SMK, maka para siswa SMK memiliki peluang yang lebih besar untuk bersaing di dunia kerja yang semakin ketat dan menekankan jumlah pengangguran lulusan SMK yang naik setiap tahunnya. Semoga program ini benar-benar meningkatkan kualitas SMK, dan mengubah persepsi negatif sebagian orang terhadap Sekolah Menengah Kejuruan.

*Mahasiswa Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Posted by Dedi Purwana

16 komentar untuk "Mampukah 4 Tahun Studi Meningkatkan Kualitas SMK?"