Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Manajemen Kampus Harus Bertransformasi!

Manajemen perguruan tinggi harus segera berbenah. Perubahan lingkungan menuntut kampus bertansformasi ke arah good university governance. Kampus harus meninggalkan tata kelola business as usual, manakala kampus berkeinginan untuk survive. Terlebih jika ingin menjadi Universitas yang diakui masyarakat nasional ataupun internasional. Tidak ada jalan kecuali perguruan tinggi melaksanakan reformasi dalam semua aspeknya.

Manajemen Kampus Harus Bertransformasi!
Gambar oleh Mudassar Iqbal dari Pixabay

Reformasi ini perlu dilakukan untuk menjadikan kampus mampu meningkatkan daya saing di semua tataran, untuk mengatasi kekurangan sumber dana, untuk tetap menjaga akses yang adil bagi masyarakat, serta untuk dapat lebih mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada stakeholders. Keempat pendorong tersebut harus mewarnai strategi transformasi sebuah perguruan tinggi.

Lalu bagaimana mengelola keempat komponen transformasi manajemen perguruan tinggi tersebut?

Competitive-driven reform. Kebijaksanaan dalam kategori ini didorong oleh kepentingan universitas dalam rangka meningkatkan kemampuannya berkompetisi dengan universitas dan lembaga lain yang menghasilkan produk sama sehingga dapat berkembang dengan tingkat akselerasi yang tinggi. Mutu adalah kemampuan berkompetisi. Kemampuan berkompetisi ini bukan hanya memerlukan pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi, tetapi juga kemampuan dan dorongan serta komitmen yang kuat untuk melakukannya.

Budaya kompetisi tidak akan timbul jika struktur kewenangan dan pertanggungjawaban diatur secara sentralistik. Keadaan di mana peraturan dan perintah dilaksanakan dengan line authority, juga tidak akan merangsang seseorang untuk berpikir, berusaha dan berbuat atas tanggungjawab dan inisiatif sendiri. Oleh karena itu kebijaksanaan memberdayakan program studi dan jurusan perlu makin diintensifkan. Jurusan harus dapat menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan: mau ke mana dalam kerangka visi universitas, menggunakan resource apa saja, bagaimana mendapatkan sumber-sumber itu, indikator kinerja yang mana yang paling efektif untuk mengukur kegagalan atau keberhasilan program-programnya, bagaimana menciptakan iklim yang mendukung usaha perubahan itu, dan pertanyaan  lain yang sejenis dengan itu.

Tentu saja agar tidak terjadi otonomi yang kebablasan, kemandirian itu harus dilihat sebagai bagian dari perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan dan program universitas dan fakultas. Dalam bidang program akademik, pertanyaan tentang benchmark apa yang dipakai untuk membandingkan mutu lulusannya, serta kapan target-targetitu akan dicapai merupakan pertanyaan yang penting.

Finance-driven reform. Perubahan ini dilakukan untuk mempertinggi kapasitas dan kemampuan lembaga dalam mendapatkan dana tambahan untuk mendukung program-programnya. Pada hakekatnya reformasi ini meliputi beberapa hal.

Pertama, bagaimanakah usaha untuk lebih mengefisienkan dana yang sudah ada, agar dapat mendukung visi suatu program studi. Ini berarti bahwa program studi atau fakultas harus secara kontinu melakukan reviu apakah manajemen selama ini sudah tidak lagi melakukan pemborosan, yaitu mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk program tertentu padahal seharusnya biaya tersebut dapat ditekan.

Kedua, apakah kemungkinan –kemungkinan sumber pembiayaan sudah dicoba untuk dieksploitasi dengan perencanaan yang matang. Ini menyangkut kemampuan untuk melihat peluang dalam waktu kita mengalami kesulitan.

Ketiga, dalam membuat program-progamnya apakah program studi telah membuat prioritas yang benar, yaitu menomorsatukan program-program yang mempunyai dampak ganda (multyplying effects) kepada pencapaian target program studi itu.

Keempat, apakah hasil-hasil kerja akademik dosen dan mahasiswa sudah dapat dijual sehingga menghasilkan pendapatan yang dapat dipakai untuk pengembangan. Keempat hal itu merupakan justifikasi untuk melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan sehingga suatu program studi, jurusan atau fakultas dapat secara efisien melaksanakan misinya. Disadari bahwa tidak semua program studi mempunyai kemampuan yang sama dalam melakukan kegiatan untuk mengarahkan programnya untuk mengatasi kekurangan pembiayaan, namun sedikit demi sedikit program-program tersebut harus dapat memungkinkan kemampuan untuk berkembang sendiri (sustainable program).  Kemampuan mendapatkan dana tadi seharusnya tidak disadarkan kepada ekstensifikasi program layak jual, karena hal tersebut akan menghasilkan perguruan tinggi, yang secara sinis disebut sebagai toko kelontong. Program tersebut harus didasarkan atas intesifikasi menghasilkan dana atas dasar kegiatan akademik dengan melakukan berbagai upaya eksperimentasi yang melibatkan para pengguna produk program studi yang bersangkutan.

Equity-driven reforms. Perubahan ini merupakan perubahan-perubahan yang harus dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan akan akses pendidikan tinggi bagi masyarakat yang tidak beruntung, termasuk karena terdapatnya kondisi di mana anggota masyarakat tidak mungkin mengikuti program reguler. Dalam kategori ini juga termasuk mahasiswa yang pandai dari golongan ekonomi lemah, kesempatan untuk mendapatkan akses bagi warganegara yang telah bekerja dan ingin meningkatkan kompetisi dan wawasannya, para calon mahasiswa dari daerah yang kualitas pendidikan menegahnya rendah (misalnya dari Indonesia bagian Timur), para atlet dan seniman yang karena profesinya tidak dapat secara reguler mengikuti pendidikan tinggi. Hal ini perlu dipikirkan karena seharusnya mereka tidak kehilangan haknya karena perlakuan diskriminatif dari perguruan tinggi. Disamping itu juga diperlukan pengakomodasian mahasiswa yang ingin mendapatkan pendidikan dengan mutu internasional.

Accountability-driven reform. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban sebagai lembaga perguruan tinggi yang dibiayai pemerintah, dan para stakesholders. Pengertian sederhananya adalah apakah hasilnya, jika program studi itu sudah diberikan tambahan sumberdaya baik dari pemerintah, orang tua atau lembaga lainnya. Perubahan ini menghendaki transparansi proses dan hasil dari pelaksanaan program-program yang telah ditetapkan berupa laporan keberhasilan dan kegagalan, serta sumberdaya yang dipakai untuk program tersebut. Pada tingkat universitas, laporan tahunan selalu disampingkan rektor dalam sidang senat yang diadakan untuk itu setahun sekali. Pada tingkat fakultas juga diharapkan laporan dekan kepada senat fakultas, dan pada tingkat jurusan/program pertanggunjawaban pada dosen jurusan. Dalam hal yang dijanjikan kepada orangtua, juga diperlukan laporan pertanggunjawaban kepada orang tua. Akuntabilitas juga meliputi pertanggunjawaban kita akan mutu program yang sudah ditawarkan kepada mahasiswa dan pelanggan lainnya baik internal maupun eksternal.

 

 

Posting Komentar untuk "Manajemen Kampus Harus Bertransformasi! "