Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ragam Rintangan Menjadi Universitas Berbudaya Wirausaha

Kampus di berbagai negara berlomba mengklaim entrepreneurial university sebagai roh akademik kampus mereka. Sebagian dari kampus tersebut dapat membuktikan wirausaha menjadi budaya kampusnya. Namun tidak sedikit dari mereka yang hanya mengusung spirit kewirausahaan sebatas slogan.

Ragam Rintangan Menjadi Universitas Berbudaya Wirausaha
Gambar oleh mohamed Hassan dari Pixabay 

Memang tidaklah mudah mewujudkan kampus berbudaya wirausaha. Beberapa kendala intrinsik bagi universitas kerap merintangi langkahnya untuk menjadi universitas berbudaya wirausaha. Rintangan-rintangan tersebut diantaranya:

Pertama, peran pemerintah. Peran pemerintah termanifestasi dalam wujud pendananaan bagi operasional universitas.  Pemerintah menghendaki kampus untuk memulai berbudaya wirausaha dengan pemberian pendanaan berupa subsidi yang dapat menjadi ancaman bagi munculnya birokratisasi dan membatasi upaya kreatif kampus untuk berkembang secara mandiri. Subsidi yang diberikan pemerintah tersebut dapat menghambat aktifitas tertentu, mengurangi daya inisiatif dan meningkatkan biaya tambahan yang dalam jangka waktu panjang kegiatan-kegiatan tersebut tidak akan dapat dilaksanakan lagi. Subsidi tadi juga akan mengurangi mekanisme akuntabilkitas yang akan melemahkan semangat berusaha bagi universitas tersebut.

Sementara disisi yang lain kita juga tidak lepas untuk menyorot transparansi dari komponen-komponen pembiayaan yang diberikan pemerintah pada tiap universitas, yang dulunya merupakan pemasok terbesar pada universitas yang diberikan kepada fakultas dan jurusan-jurusannya. Ini merupakan bukti bahwa pada kenyataannya keadaan keuangan dari satu universitas dapat membatasi kegiatan universitas tersebut untuk membuat keputusan akan alokasi sumber dana universitasnya. Tidak kalah penting juga faktor tingkat tata aturan eksternal, mekanisme kualitas dan upaya akuntabilitas yang hanya dimiliki oleh institusi yang berhasil dan bonafit. Terlalu banyaknya manajemen mikro yang dikelola oleh pihak pemberi bantuan (funding agencies) akan dapat mengurangi otonomi ”kemandirian” dari universitas tersebut.

Kedua, adanya faktor konteks budaya organisasi dan tradisi.  Universitas yang memiliki sejarah panjang dalam aktivitas birokrasi atau memiliki sistem/tatanan yang kaku tidak mudah untuk mengikuti perubahan. Oleh karenanya tidak cukup apabila perubahan itu hanya dilaksanakan pada tingkat manajemen atas saja. Sangat diperlukan pendekatan konsisten untuk mengubah manajemen ini secara terus-menerus. Walaupun dalam teori manajemen publik dikatakan bahwa universitas adalah organisasi dengan penekanan pada tatanan manajemen tingkat bawah oleh karena itu upaya-upaya wirausaha yang datang dari manajemen atas akan sangat lama sampai pada tingkatan bawah untuk direalisasikan dan dapat dipahami. 

Lebih jauh lagi banyak kerangka birokrasi universitas yang sangat tertutup pada tingkatan teknis pembuatan keputusannya, apakah sumber-sumber daya didistribusikan dengan basis kepentingan dewan pendanaan; apakah pendapatan masing-masing jurusan disimpan oleh jurusan tersebut untuk memenuhi kebutuhannya; apakah pendanaan tersebut masuk ke fakultas dan dibagi sesuai dengan tingkat yang disetujui sehingga beberapa bagian dapat diinvestasikan kembali oleh pihak rektorat dengan inisiatif aktivitas yang baru. Apakah manajer akademis seperti dekan, ketua jurusan, ditunjuk secara permanen atau ditunjuk melalui pemilihan dengan sistem bergilir sehingga pemimpin-pemimpin baru dapat mengaplikasikan kebijaksanaan baru. Apakah struktur akademis mendukung individu-individu yang kreatif atau malah menghambat kreatifitas. 

Universitas tidak akan dapat berbudaya wirausaha jika mereka tidak memiliki kriteria pengalokasian sumber daya internalnya dan jika basis pendapatan yang beranekaragam yang dimiliki universitas tersebut tidak digunakan secara kreatif atau budaya dari jurusan baik yang kaya maupun yang miskin hanya dapat berkembang karena adanya perolehan dari pendapatan sampingannya, atau jika keadaan universitas sangat tidak mendukung pendanaan dari tingkat bawah maka semua hal tersebut menghambat terbentuknya universitas berbudaya wirausaha.

Hambatan yang ketiga adalah terletak pada lapisan-lapisan dalam struktur otoritas antara unit pelaksana teknis, jurusan, dekanat dan rektorat. Lapisan ini pada dasarnya merupakan mekanisme pertahanan yang dibuat untuk mengontrol dari tingkat atas ke tingkat menengah dan akhirnya langsung level terendah pada suatu aktifitas. Pertanyaannya adalah apakah ada nilai tambah dari konstruksi struktur ini yang kerapkali hal-hal tersebut membatasi hubungan level atas kepada kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan, karena adanya gap yang terlalu jauh dimana birokrasi dan perlakuan yang diberikan akan membedakan porsi bantuan yang diberikan serta perlakuan yang diperlukan. Pada beberapa institusi, kekuasaan dari dekan menghilangkan kekuasaan ketua jurusan sehingga apabila kepemimpinan jurusan tersebut diperlukan maka akan dapat melemahkan kepemimpinan yang lainnya. Dengan semakin meluasnya suatu institusi dan semakin kompleksnya struktur kekuasaan dalam universitas tersebut beberapa aturan tertentu perlu diberlakukan. Akan tetapi kontrol dari pusat seharusnya tidaklah besar, dan tidak akan menjadi kontrol utama yang menghilangkan kontrol dari ketua jurusan dalam kegiatannya.

Akhirnya, universitas tidak terlalu memiliki sistem kepemimpinan yang ketat. Diantaranya memiliki tim manajemen senior yang mengelola institusi dalam sistem hierarki yang terdiri dari para pengelola-pengelola (baik akademis maupun non akademis) atau apakah mereka memiliki pemimpin institusi yang menggunakan tim pusat sebagai pelaksana dari kebijakan-kebijakannya. Kerjasama dari para dekan-dekan sebagai anggota pembuat kebijakan dapat memperbaiki keadaan akan tetapi jika mereka adalah pucuk pemimpin dari fakultas-fakultas maka mereka dapat diubah menjadi wakil dari manajemen tingkat atas dalam melaksanakan kebijaksanaannya, daripada hanya menjadi wakil pengoperasian unit-unit kerja dan sebagai komponen yang memberikan ide-ide kepada pusat. Universitas memerlukan sistem kepemimpinan yang ketat karena aturan yang diberikan langsung dari seorang pimpinan tidak cukup efektif kecuali untuk mengatasi krisis dalam jangka pendek saja. Sang pemimpin memerlukan kolaborasi dari kelompok-kelompok yang terdiri atas para akademisi dan staf administrasi yang dapat menjadi wadah dan memulihkan tekanan-tekanan yang terdapat pada lingkungan internal dan eksternal yang dipengaruhi oleh masukan dari tingkat bottom up atau top down dan siapa saja yang dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan jurusan-jurusan yang akan membentuk kebijakan jurusan dan membawa kebijakan tersebuit ke tingkat atas sehingga menjadi bagian dari strategi institusi.

Walaupun kata wirausaha telah menjadi satu kata dalam institusi perguruan tinggi, pencapaian realitas institusionalnya masih belum lazim. Pemerolehan otonomi ‘yang ditentukan’ dianggap lebih umum daripada otonomi ‘kemandirian’ oleh universitas. Dalam sistem di Inggris, untuk menjadi benar-benar berwirausaha, institusi memerlukan partisipasi yang cukup kuat dalam manajemennya, budaya institusi yang dibuat dengan manajemen tim yang tidak akan jauh dari misi tim tersebut. Institusi memerlukan hubungan kerja yang amat berat dan kepercayaan penuh dari badan akademis dan komunitas adiministrasinya sehingga para staff administrasinya memilki kepercayaan untuk bekerja sama dengan komunitas akademisnya sebagai rekan kerja setara dan dapat mengkritik kebijakan-kebijakan yang dibuat tanpa terlihat sebagai pihak yang mendominasi.

Untuk menjadi universitas berbudaya wirausaha yang sukses maka staff akademisnya harus memiliki kualitas akademis yang tinggi, sangat sedikit contoh yang memperlihatkan bahwa kegiatan wirausaha berkembang dengan basis institusi yang hanya memiliki kemampuan akademis tingkat menengah atau tingkat bawah. Menjadi wirausaha  berarti pertama-tama secara akademis dapat berkompetisi dan bukannya pada segi finansial saja, dengan kata lain keberhasilan finansial itu menyusul setelah keberhasilan akademis. Keuangan akan dapat mendukung tetapi tidak dapat membuat terjadinya kreatifitas akademis.

Menjadi wirausaha bagi universitas berarti adanya pengelolaan secara hoilistik bagi universitas tersebut dimana semua aktifitasnya saling berhubungan dan semua aktifitas dilaksanakan untuk mengembangkan misi universitas dan membangun kepercayaan diri universitas dalam mengambil resiko dan menginvestasi demi keberhasilan-nya. Universitas berbudaya wirausaha dapat berkompetisi dengan baik secara nasional dan internasional dalam persaingan pasar akademis dengan staffnya yang prima, mahasiswa-mahasiswanya, program hibah dan sangat tajam dalam menganalisa kegagalan yang pernah mereka miliki. Universitas seperti ini tidak akan puas dengan tampilan sederhana yang masih dapat mereka perbaiki sehingga mencapai target yang diinginkan pemerintah saja, hal itu karena mereka ingin berhasil dalam setiap forum.

Universitas berbudaya wirausaha yang maju bukanlah universitas yang memiliki kemampuan untuk bekerja saja akan tetapi memiliki visi yang dinamis dalam mempertahankan moralnya yang tinggi dan juga memberikan tujuan untuk meningkatkan keberhasilannya dan memiliki kekuatan pertahanan. Hal ini lebih baik daripada universitas yang tertata rapi dengan pendekatan kendali mutlak pada manajemen universitasnya yang banyak ditemui pada universitas-universitas tingkat tinggi pada saat sekarang ini.

Posting Komentar untuk "Ragam Rintangan Menjadi Universitas Berbudaya Wirausaha"