Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tuntutan Baru dalam Lapangan Pendidikan

Di negara yang sedang membangun seperti Indonesia, sekarang ini, berkembang tuntutan baru di dalam kehidupan. Tuntuan itu berupa besarnya keinginan masyarakat untuk memperkuat kualitas kehidupan, kualitas sumberdaya manusia. Dalam bahasa popular sering kita sebut sebagai besarnya keinginan untuk peningkatan kualitas manusia, kualitas individu.

sobat dunia kampus
Gambar oleh Wokandapix dari Pixabay 

Salah satu bidang yang menjadi perhatian untuk memenuhi tuntutan itu adalah perbaikan mutu penyelenggaraan pendidikan. Perbaikan di sektor pendidikan diharapkan akan banyak membantu mempercepat peningkatan kualitas individu masyarakat tersebut. Persoalannya, belakangan ini, dunia pendidikan kita tampak ‘tidak berdaya’ untuk memenuhi keinginan besar itu. Tidak berdaya bukan hanya disebabkan oleh rendahnya komitmen para pengambil kebijakan kita terhadap dunia pendidikan, tetapi juga pendidikan masih dipandang sebagai sektor pembangunan yang memiliki prioritas rendah.

Diskusi tentang dunia pendidikan belakangan ini juga mencerminkan keadaan semacam itu. Keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang ‘membenarkan’ masuknya gaji guru dalam perhitungan anggaran pendidikan yang 20 %-- sesuai dengan pesan UU No.20 Tahun 2003—menguatkan konfirmasi bahwa pendidikan memang masih berada pada sisi periferi. Itu sebabnya, jika kita ingin meningkatkan mutu individu manusia Indonesia, dan kita secara naïf mengharapkan atau menumpukan bahwa peningkatan kualitas manusia Indonesia itu kepada pemerintah, maka yang muncul kemudian adalah kekecewaan, dan berlanjut dengan kekecewaan lagi.

Itu sebabnya, kita memerlukan partisipasi masyarakat. Kita harus membangunkan kesadaran masyarakat. Kita harus mulai memberikan atau membangun kesadaran kolektif masyarakat bahwa peningkatan kualitas manusia Indonesia tidak dapat lagi diharapkan sepenuhnya kepada ‘niat baik’ pemerintah saja. ‘niat baik’ yang sering bersifat omong kosong belaka. Kita sendiri harus mulai membangun ‘kekuatan’ yang mungkin dibarengi dengan ‘pengabaian’ terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah.  

Ada beberapa alasan yang dapat kita majukan untuk itu : Pertama, pemerintah jelas tidak memiliki komitmen kuat untuk membangun sektor pendidikan. Dan ini tampak dari berbagai kebijakan yang dilansir belakangan ini, terutama kebijakan-kebijakan pendidikan yang sangat berorientasi neo-liberal atau liberalisasi pendidikan. Kedua, fakta dilapangan, yang dihadapi oleh mayoritas masyarakat kita, seringkali, menunjukan bahwa pemerintah tidak hadir di tengah-tengah masyarakat, sekalipun ketika masyakarat membutuhkan pertolongan. Banyak anggota masyarakat yang ‘terpana’ karena semangatnya untuk menyekolahkan anak-anak mereka dihadang oleh kuatnya sikap-sikap transaksional- kapital di dalam penyelenggaraan pendidikan. Jeritan, keluhan, appeal, himbauan, permohonan yang diajukan masyarakat, agar mereka dimudahkan untuk mengakses lembaga pendidikan yang baik—karena mereka tidak mampu membayar mahal—ditanggapi dengan belas kasihan, politik entertain, bahkan dieksploitasi menjadi pembangunan citra, tanpa pernah dapat menyelesaikan masalahnya secara tuntas.

Bisa jadi, kecenderungan pendidikan formal yang menjadi sangat elitis dan klasik—yang hanya menampung sekelompok orang yang mampu, kelompok orang-orang feodal—menjadi wajah pendidikan kita. Dunia pendidikan mulai dikelompok-kelompokan kepada mereka-mereka yang mampu membayar mahal, dan mereka-mereka yang kurang mampu. Itulah fenomena kita belakangan ini. Sekolah-sekolah yang bagus, baik secara akademik maupun secara sarana dan prasarana, adalah lembaga pendidikan yang menampung orang-orang kaya. Sementara itu, sekolah-sekolah yang buruk, baik secara akademik maupun secara sarana dan prasarana, adalah lembaga pendidikan untuk orang-orang yang kurang mampu membayar. Semua keputusan segmentatif seperti itu dilandaskan kepada transaksi kapital. Oleh karena itulah, banyak lembaga pendidikan kita dibangun atas dasar kesadaran membangun hegemoni kapital yang bersifat transaksional.

Apa yang ingin kita perjuangkan di dalam situasi dunia pendidikan kita yang seperti ini? Alokasi anggaran pendidikan yang beberapa tahun ini diharapkan dapat memelihara momentum dan harapan rakyat, agar dapat meningkatkan kapasitasnya melalui pendidikan, telah pupus dengan tragis. Dua sejawat komunitas pendidikan—seorang guru sekolah menengah di sebuah kota kecil , dan seorang dosen yang guru besar di salah satu perguruan tinggi terkemuka—bertindak atas nama dirinya sendiri dan sejalan dengan aspirasi pemerintah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk memupus harapan komunitas pendidikan dalam pembiayaan pendidikan. Walaupun kesan kuat yang  tampak kepermukaan bahwa mereka berdua itu adalah orang suruhan elite penguasa.

Kita, sebenarnya, mengharapkan terjadi tranformasi di dalam sistem pendidikan formal kita. Kita mendambakan bahwa sistem pendidikan formal yang bersifat elitis-klasik seperti yang berlangsung sekarang ini, dapat ditanformasikan ke model yang lebih ‘liberal-massif’ melalui penerapan konsep demokratisasi dalam pendidikan. Mengapa kita kembali kepada ‘liberalisme’? Bukankah liberalisasi pendidikan seperti saya konstatasikan di atas telah menjebak kita kepada sistem pendidikan elitis dan feodal? Bukankah hal itu menjadi kontradiktif?

Semua pertanyaan itu, justru, memberi landasan kuat bahwa kebijakan pendidikan kita yang condong pada liberalisasi, tidak serta merta menjadikan sistem pendidikan kita menjadi sangat demokratis. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka yang memiliki modal membuat kebijakan afirmatif sendiri-sendiri atas nama liberalisasi atau demokratisasi sistem pendidikan. Mereka mengupayakan ekslusifitas lembaga pendidikannya atas dasar jargon seperti sekolah unggul, sekolah internasional, sekolah berstandarkan nasional, sekolah berstandarkan internasional, sekolah plus dan sebagainya. Bahkan jargon semacam itu dipergunakan secara gambling oleh pemerintah kita. Pada praktiknya, sekolah-sekolah semacam itu hanya menampung kelompok orang yang mampu membayar. 

Sementara mereka yang datang dari kelompok orang yang tidak mampu membayar, walaupun secara akademik dan moral cukup ‘unggul’, tetap saja mereka tidak memiliki akses yang memadai. Kita patut bertanya, mengapa liberalisasi pendidikan, yang sepatutnya dapat memperluas akses, memperbesar multikulturalisme, membangun integrasi, membangunan nasionalisme inklusif yang sangat penting bagi masa depan negara dan bangsa, justru tidak dapat diakomodasikan secara baik? Mengapa liberalisasi sistem pendidikan mendorong berkembangnya ekslusifitas baru, feodalisme baru, serta memberi pupuk untuk menyuburkan benih-benih desintegrasi di tengah-tengah masyarakat?

Mungkin, kesadaran kolektif kita harus dimunculkan kembali. Bahwa pendidikan itu ditujukan untuk meningkatkan kapasitas, meningkatkan kualitas semua warga negara. Kita sering menyebutnya dengan ‘education is for all citizens’. Untuk apa kesadaran kolektif itu kita tumbuhkan kembali. Menurut hemat saya, kesadaran bahwa pendidikan itu harus diberikan kepada semua warga negara ditujukan untuk memberikan pemahaman bahwa pendidikan penting untuk pembangunan nasional suatu bangsa. Pendidikan sangat penting untuk memberantas buta huruf. Pendidikan sangat penting untuk pengurangan kemiskinan. Pendidikan sangat penting untuk pengurangan penyakit masyarakat. Pendidikan sangat penting agar rakyat kita makin tak berminat dengan praktik-praktik kekerasan, sikap hidup yang gandrung akan konflik, dan menghindari opresifitas—tekan menekan satu sama lain.

Dengan kata lain, pendidikan menjadi instrumen yang sangat strategis untuk penguatan peradaban suatu masyarakat. Kita menyadari bahwa peradaban suatu bangsa akan menjadi kuat atau semakin kuat, apabila mutu atau kualitas hidup masyarakatnya juga meningkat. Oleh karena itu, penguatan di sektor pendidikan sangat berhubungan langsung dengan penguatan peradaban suatu bangsa. Muncul pertanyaan: Apakah, sekarang ini, dunia pendidikan kita sudah dapat memperkuat peradaban masyarakat kita? Apakah pendidikan kita sudah berkontribusi signifikan dalam membangun masyarakat kita yang beradab, civilized serta berkedaban? Hanya hati rakyat yang tahu….

Seri Tulisan Gagasan & Pemikiran Muchlis R. Luddin (1960 – 2021)  

1 komentar untuk "Tuntutan Baru dalam Lapangan Pendidikan"

  1. Looking for fun ? Here I have something that can make you entertained and release all your stress. https://gacorteros.com/

    BalasHapus