Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengelola universitas dengan prinsip Dunlop

Dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur tentang bagaimana menjalankan perusahaan.   Beberapa literatur yang ditulis oleh para ahli dalam bidangnya, memuat  hal-hal yang berhubungan dengan kepemilikan usaha, analisis kegagalan dan cara mengelola kegagalan tersebut.  Namun demikian, dalam literature tersebut tidak secara tegas menyebutkan perbedaan antara universitas dan perusahaan dalam hal pengelolaan bisnis. Dalam pengelolaan bisnis di perusahaan jauh lebih banyak rintangan yang dihubungkan dengan perubahan arah yang cepat, kesepakatan, pengembangan, merger, penjualan, keamanan dari penurunan produk dan serta penempatan staf.   Hal-hal tersebut hampir tidak terdapat dalam komponen manajemen universitas.

mengelola universitas dengan prinsip dunlop

Dalam menghadapi fakta menurunnya rating, kecepatan memberikan reaksi adalah yang penting dalam membawa perubahan. Universitas-universitas yang segera bereaksi dan benar sebagai respon terhadap fakta menurunnya rating akan menunjukkan adanya suatu perbaikan di masa mendatang.  Sebaliknya, universitas yang tidak memberikan respon akan sulit melakukan perubahan.  Perubahan manajemen pada semua tingkat manajemen yang dilakukan dengan cepat dan tepat akan lebih baik daripada  mengharapkan adanya perbaikan pada beberapa individu dalam organisasi.

Universitas dapat menggunakan empat prinsip Dunlop yang selama ini digunakan perusahaan dalam mengantisipasi perubahan. Prinsip Dunlop ditujukan pada pencapaian sukses pengelolaan perusahaan; 1) manajemen yang benar, 2) perolehan hasil (dalam hal ini uang), 3) perbaikan keseimbangan dengan memfokuskan usaha, dan 4) strategi yang benar untuk mencapai sukses. Dengan beberapa modifikasi prinsip-prinsip Dunlop tersebut dapat diimplementasikan pada manajemen universitas.

Empat prinsip Dunlop nampaknya sederhana, tapi disitulah letak kekuatannya sehingga mudah dipraktekan dalam “bisnis”. Penerapan empat prinsip Dunlop tersebut di universitas tidaklah sederhana. Hal ini dikarenakan kompleksitas legal dari aturan atau perundang-undangan yang berlaku di universitas dan bila tindakan yang tergesa-gesa dilakukan maka akan menimbulkan kontra produktif  dalam kondisi yang tidak stabil. Prinsip pertama ini memberikan contoh yang baik bagi kalangan universitas yang mengalami kemunduran serius atau benar-benar mengalami kegagalan yang dikarenakan struktur manajemen mengalami disfungsi.

Suatu contoh apa yang terjadi di universitas X dimana disfungsi telah menjadi endemik. Panitera dan bendaharawan bertindak sebagai kepala professor senior yang paling kritis dari rezim sebelumnya, bekerjasama dengan para administrator junior kemudian mengadakan perjanjian baru. Pelayanan yang dilakukan menunjukan bahwa institusinya tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri, karena seluruh struktur pembuat keputusan telah terjangkit oleh suatu keadaan yang tidak mampu bertindak tanpa arahan pusat yang kuat. Jika kita melihat bagaimana gap komunikasi yang besar  terjadi antara kantor otoritas pusat (rektorat) dan komunitas akademis. Pemindahan atau pergantian rektorat dilakukan tanpa adanya perubahan yang berimbang sehingga menghasilkan kevakuman dan penyimpangan karena tidak adanya pengikut dari kepemimpinan baru. Dalam mensiasati kondisi ini mungkin dengan membentuk struktur untuk mengisi gap (celah) yang terjadi. Hal ini penting karena kepemimpinan dan tim manajemen yang baik memerlukan legitimasi dalam konteks universitas.

Kedua hal itu efektif (kepemimpinan dan tim manajemen) pada penerapan kondisi yang tidak stabil, jika melibatkan seluruh komunitas akademis. Hal ini tidak hanya untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil merupakan pikiran secara akademis, tetapi   akan sulit dibuat keputusan jika komunitas akademiknya meyakini bahwa keputusan tersebut diambil oleh sebagian kecil wakil komunitas. biaya produksi tinggi dan birokrasi yang rumit juga merupakan dua hal yang harus dihilangkan. Kita bisa mencari alternatif lain, misalnya dengan memindahkan semua pimpinan  yang profesional namun berada di luar sistem kemudian menempatkannya dalam suatu posisi pimpinan dengan dibantu oleh para akademisi senior yang yang mempunyai semangat namun  kurang pengalaman profesionalnya namun mereka mengetahui tugas dan bagaimana melakukannya.

Belajar dari kasus di atas dapat kita pahami bahwa perubahan tim manajemen dapat memperbaiki keadaan ataupun sebaliknya. Bila perubahan telah dilakukan meskipun sesaat mungkin menghasilkan harapan palsu bahwa kemunduran dapat dihilangkan, ketika kemunduran institusi atau kegagalan akademis yang bersifat alamiah seperti kebiasaan lalai (dalam pengelolaan) akan menjadi luar biasa karena hilangnya ketegasan aturan akademis yang biasanya semua itu menjadi gambaran dari masalah-masalah adminstrasi. Menghadapi masalah seperti itu maka tentunya manajemen institusi harus menjadi hierarki yang tetap dan kekuatan eksekutif lebih dikonsentrasikan atau diberikan pada beberapa orang (sedikit) yang mana hal ini akan menimbulkan aspek lain seperti perubahan gaya hidup yang nampak lebih menonjol.

Pada skema pengurangan biaya universitas, tentunya akan didapatkan hasil yang lebih baik dari pada pengurangan biaya yang dilakukan secara sederhana. Dengan melakukan skema pengurangan biaya maka akan meningkatkan kembali disiplin dan sikap semestinya. Kesederhanaan  dan penghematan bukanlah hal yang bersifat simbolis belaka namun harus ada tekad dan aturan yang baik. Pengelolaan yang baik akan selalu membutuhkan investasi dari sumber-sumber baru guna mendukung kesuksesan atau untuk memulai usaha atau kegiatan baru. Sumber dana yang tak terikat untuk investasi menunjukkan suatu keadaan yang genting pada pengelolaan apapun. Membentuk dan melakukan pembaruan dunia akademis pada suatu universitas harus menjadi kunci untuk merubah kegagalan atau menahan kemunduran. Dan hal ini tidak akan dapat tercapai kecuali  jika manajemen institusi diperbaiki dan dana dapat diperoleh dari investasi baru.

Menghadapi pilihan yang sulit dalam mengambil suatu kebijakan ke depan, tentunya kita harus mengkaji kembali kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Baru setelah itu kita memutuskan tindakan apa yang kita harus ambil, apakah memperkuat kekuatan yang sudah ada atau mungkin memperbaiki kelemahan atau bahkan menghilangkan kelemahan tersebut. Untuk itu kita mungkin dapat mempertimbangkan apa yang dikemukan Shattock (1992), yang mengatakan agar dibentuk sebuah kelompok yang disebut ‘gang of four’ dimana kelompok ini terdiri dari orang–orang yang berpengalaman dalam bidang akademisi namun tidak ditempeli kepentingan tertentu yang kemudian kelompok ini mengadakan observasi dengan mewawancarai beberapa unit akademisi yang lemah untuk selanjutnya menyimpulkan tindakan apa yang tepat yang perlu dilakukan. Selain itu kita juga dapat menggunakan alternatif lain dengan menggunakan konsultan ahli dalam memberikan masukan dan arahan.

Salah satu perbedaan yang paling signifikan antara perusahaan dan universitas adalah terletak pada persoalan stafnya. Suatu kemunduran pada performa penelitian biasanya dihubungkan pada kegagalan dari produktifitas staff penelitian secara individu. Umumnya bila sekali mengalami kegagalan maka akan sulit untuk para individu menciptakan kembali semangat juang (kerja) penelitian yang mana hal tersebut sangat diperlukan untuk diperbaharui. Pada kasus-kasus khusus timbul kemudahan yang bersifat relatif untuk mengidentifikasi performa tinggi dan performa rendah tapi untuk menentukan bentuk potensialnya jauh lebih sulit. Bahkan ketika sebuah kesimpulan dicapai maka harus dikonsolidasikan dan diinformasikan. Kesimpulan semisal mengenai bahan atau kebutuhan pengajaran, kualitas dan faktor penentu penerimaan mahasiswa dengan estimasi dari sumber-sumber yang mungkin tersedia. Hal ini membawa kita pada berbagai aspek, khususnya aspek pengelolaan keuangan.

Kemunduran yang terjadi tidak dapat ditahan dan institusi tidak dapat melakukan perbaikan tanpa sebuah investasi yang signifikan. Penambahan biaya juga perlu untuk pembiayaan perlengkapan, pembaruan yang bersifat akademis atau untuk memperbaiki produktivitas dengan memotong biaya tambahan sementara pada universitas. Cara lain untuk meningkatkan produktivitas hampir selalu mengikut sertakan para staff aktif di lembaga penelitian dengan pemberian jiwa kepemimpinan oleh para senior. Bahkan ketika universitas mempunyai kas yang tersedia untuk biaya redudansi (penawaran pensiun dini) hal itu dapat dilakukan untuk menjaga peluang selama satu tahun atau lebih untuk melakukan regenerasi kemampuan serta menyiapkan tenaga-tenaga pengganti aktif khususnya di lembaga penelitian.

Institusi atau departemen yang berada dalam kemunduran juga tidak selalu dapat membuat ketetapan untuk mengelola kondisi kemunduran yang ada. Jika terlalu sering membuat ketetapan maka akan merefleksikan kelemahan, sehingga memperburuk keadaan yang mungkin karena tidak cukup awas dan responsif terhadap fakta-fakta yang sebenarnya untuk mengetahui skala masalah, sehingga timbul bahaya serius pada institusi yang terjebak dalam sebuah spiral dan sangat sulit mencabut diri.

Suara eksternal mungkin mempunyai sebuah aturan main dalam perubahan kultur yang terdapat dalam pesan yang dibuatnya dengan jelas serta dapat dipahami dan selanjutnya dikirim pada semua komponen utama manajemen institusi, sementara pada perusahaan dengan pimpinan yang kuat dan ditentukan oleh pimpinan eksekutif maka akan dapat menghadapi perubahan, sedangkan pada universitas banyak tergantung pada komitmen individual untuk mencapai kesuksesan sehingga dalam mengatasi kemunduran atau mengolah kegagalan memerlukan kemampuan politis selain kemampuan manajerial. Para kolega perlu untuk diyakinkan bahwa kegagalan dan kemunduran yang terjadi akan memberikan dorongan untuk bangkit kembali serta pembaruan yang dilakukan adalah pengorbanan yang akan diminta.

Sumber:

Shattock, Michael (2004). Managing Successful Universities, The Society for Research into Higher Education & Open University Press.

 

1 komentar untuk "Mengelola universitas dengan prinsip Dunlop"